"Melalui festival budaya bahari Wolio diharapkan masyarakat Indonesia dapat berkaca dari masyarakat Wolio yang hidup berdampingan dalam kondisi masyarakat yang plural," kata Kepala Kantor Komunikasi UI, Vishnu Juwono di Depok, Kamis.
Ia mengatakan "festival tersebut merupakan langkah awal pembebasan dari tendensi semakin menjauhnya dari jati diri kebaharian bangsa ini.
"Kita harapkan acara tersebut dapat mengenalkan kembali dan menanamkan kebudayaan serta tradisi bahari yang ada di Tanah Air," ucapnya, menjelaskan.
Dalam acara tersebut ditampilkan tarian "kalegoa" oleh kelompok tari Semerbak, tarian tersebut mengisahkan suka duka gadis-gadis Buton sewaktu dalam pingitan dengan spesifikasi berupa gerakan memakai sap tangan.
Sudah menjadi suatu tradisi sejak zaman lampau seorang gadis yang menjelang dewasa haruslah menjalani masa "Pingitan Posuo". Selama 8 (delapan) hari 8 (delapan) malam.
Posuo sebagai suatu arena tempaan adat bagi mereka yang diikat dengan aturan dan tata krama serta sopan santun yang ketat untuk meninggalkan masa kegadisan bebas dan gembira karena telah dewasa dalam tempaan serta siap menerima kenyataan hidup.
Selain itu, juga ditampilkan tari Balumpa yang merupakan tari selamat datang dalam menyambut tamu agung.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, Bambang Shergi Laksmono, mengatakan dunia bahari adalah sisi bangsa yang harus digali kembali. Masyarakat Buton merupakan salah satu masyarakat bahari yang paling dinamis di Nusantara.
Masyarakat Buton, menurut dia, sangat intensif berhubungan dengan berbagai macam penemuan anekaragam kebudayaan dari berbagai bangsa di dunia. Untuk itu, perlu mempelajari dan memehami kearifan dan kecerdikan mereka dalam mengelola keseimbangan kebhinekaan gelombang budaya luar yang datang menggempur.
Namun hal tersebut, katanya tidak menghilangkan jati diri mereka, tetapi dapat dijadikan elemen penguat jati diri.
Wolio adalah sebuah kecamatan di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Wolio juga merupakan nama perkampungan yang dibangun oleh Mia Patamiana, empat tokoh pendiri Kota Bau-Bau.
Serta merupakan Bahasa persatuan yang digunakan pada masa sistem pemerintahan kerajaan dan kesultanan Buton, dan saat ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa pengantar pada masyarakat lokal selain Bahasa Indonesia.(*)
(T.F006/C004)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011