Jakarta (ANTARA News) - Indonesia bersama tujuh negara lainnya yaitu Guatemala, India, Jepang, Norwegia, Afrika Selatan, Swiss dan Tunisia menandatangani Protokol Nagoya pada 11 Mei di Markas Besar PBB, New York.

Penandatanganan dilakukan pada Ministerial Segment - Commission on Sustainable Development sesi ke-19 (CSD-19) yang bertempat di General Assembly Hall, Markas PBB, New York.

Penandatanganan protokol tersebut menjadi tonggak sejarah pemanfaatan konvensi keanekaragaman hayati. Sebelumnya 13 negara yaitu Kolombia, Yaman, Algeria, Brazil, Mexico, Rwanda, Ekuador, Republik Afrika Tengah, Seychelles, Mali, Sudan, Panama dan Peru telah menandatangani Protokol Nagoya.

Protokol Nagoya akan menjadi instrumen penting yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya genetik dan menghentikan praktik biopiracy (pencurian sumber daya genetik), khususnya bagi Indonesia yang merupakan negara mega biodiversity kedua di dunia.

Setelah ikut menandatangani Protokol Nagoya, Indonesia perlu meratifikasi dalam hukum nasional yang seiring dengan percepatan Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (RUU PSDG).

Undang-undang akan memperkuat legislasi nasional dalam pemanfaatan SDG untuk kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang memiliki kearifan atau pengetahuan tradisional dalam pengolahan sumber daya genetik.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Gusti Mohammad Hatta mewakili Negara-negara ASEAN dalam kesempatan itu menyampaikan pidato yang menekankan arti penting sesi pertemuan ini dalam mempengaruhi hasil UNCSD 2012 (Rio+20) di Brazil.

Selain itu dia juga menekankan perlunya penerapan kebijakan green economy (ekonomi hijau) dalam pembangunan berkelanjutan.

"Dengan Protokol Nagoya, keanekaragaman hayati akan menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan melalui konsep ekonomi hijau. Perdebatan kontradiksi lingkungan hidup dan ekonomi sudah selesai," katanya.

Salah satu bentuk keanekaragaman hayati adalah tumbuhan obat diperkirakan tumbuhan obat Indonesia bernilai 14,6 miliar dolar AS atau lebih dari dua kali lipat nilai produk kayu hutan.
(D016/A038)



Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011