Letak geografis negara beriklim tropis itu bersebelahan dengan sejumlah negara anggota ASEAN lainnya.
Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Laos dan Thailand, yang merupakan daerah pegunungan. Sementara di sebelah barat berbatasan dengan Teluk Thailand, serta di sebelah timur dan selatan dengan Vietnam.
Di sebelah timur negara ini mengalir Sungai Mekong yang terkenal. Aliran sungai ini berpusat di Danau Tonle yang merupakan danau air tawar terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Kamboja merupakan wilayah protektorat Perancis sejak tahun 1863, dan pada tahun 1951 pemerintah Perancis mengangkat Sihanouk sebagai raja, yang menjadikan negara ini berbentuk kerajaan konstitusional dengan nama resmi Kerajaan Kamboja.
Pada tanggal 9 November 1953, Perancis memberikan kemerdekaan untuk Kamboja dan pada saat itu Sihanouk menyatakan bahwa Kamboja merupakan negara netral yang tidak terlibat dalam perang Vietnam.
Dalam periode 1970-1993, Kamboja memasuki masa perang saudara yang menghancurkan infrastruktur fisik dan kemampuan sumber daya manusia, di masa ini juga ditandai dengan berkuasanya rezim Khmer Merah.
Kerajaan Kamboja dibagi menjadi 20 provinsi (khett) dan 4 kota praja (krong). Daerah Kamboja kemudian dibagi menjadi distrik (srok), komunion (khum), distrik besar (khett), dan kepulauan(koh). Kamboja mempunyai area seluas 181.035 kilometer per segi.
Meskipun tergabung dalam satu perhimpunan negara-negara kawasan Asia Tenggara, letak geografis Kamboja yang berbatasan darat dengan Thailand, membuat kedua negara seringkali terlibat konflik yang memperebutkan batas wilayah kedua negara.
Dalam hubungan dua negara antara Indonesia dan Kamboja, Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam upaya penyelesaian masalah perang saudara secara damai di Kamboja.
Pada tanggal 27 Juli 1987, telah dicapai Ho Chi Minh City Understanding, Jakarta Informal Meeting (JIM) I pada tahun 1988, JIM II pada 1989, dan Paris Conference on Cambodia pada 1989, yang semuanya menunjukkan peran aktif dan keterlibatan Indonesia dalam upayanya membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Kamboja.
Berdasarkan konstitusi 1993, Kamboja adalah negara kerajaan yang menganut sistem demokrasi liberal, pluralisme dan ekonomi pasar. Raja Kamboja menjabat Kepala Negara, tetapi tidak memberikan perintah.
Pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dan dibantu oleh para menteri yang tergabung dalam Dewan Menteri.
Negara yang memiliki kuil indah bernama Angkor Wat ini bergabung dalam ASEAN pada tanggal 16 Desember 1998, setelah situasi politik di negara tersebut lebih terkendali.
Dengan jumlah penduduk mencapai 14 juta jiwa, dan luas wilayah 181.035 kilometer persegi, Kamboja terbagi dalam 20 propinsi dan memiliki empat kotamadya.
Kamboja merupakan salah satu negara yang memiliki komoditas utama seperti pakaian, kayu, karet, beras, ikan, tembakau dan alas kaki.
Hubungan diplomatik Indonesia dengan Kamboja telah terjalin sejak tahun 1957, kedua negara menandatangani Perjanjian Persahabatan di Jakarta pada 13 Februari 1959.
Dalam kurun waktu Januari-Mei 2008, total nilai perdagangan Indonesia dan Kamboja mencapai 67,51 juta dolar AS dengan surplus bagi Indonesia sebesar 66,35 juta dolar AS.
Nilai perdagangan tersebut naik sebesar 20 persen dari total perdagangan dalam periode yang sama di tahun 2007 (56,02 juta dolar AS) dengan surplus sebesar 54,67 juta dolar AS bagi Indonesia.
Hubungan kerja sama antara Kamboja dengan Indonesia dalam ASEAN salah satunya adalah ditandatanganinya persetujuan bebas visa bagi pemegang paspor biasa untuk kedua negara.
Kerja sama yang ditandatangani pada tanggal 2 Juni 2010 tersebut, diharapkan dapat meningkatkan "people to people contact" antarkedua negara, dan peningkatan interaksi yang lebih baik dari kalangan bisnis untuk mendukung kerja sama ekonomi di kedua negara
Dalam hubungan pengembangan kerja sama budaya, Kamboja bersama-sama dengan Thailand, Laos, dan Vietnam, telah berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan bertajuk "Cultural Heritage Tourism Cooperation-Trail of Civilization" yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada Agustus 2006.
Kerja sama ini merupakan upaya realisasi dari gagasan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengembangkan kerja sama "sister temple" dengan negara-negara tersebut.
Kegiatan itu menghasilkan "Borobudur Declaration" dan "Borobudur Plan of Actions" yang menegaskan komitmen kerja sama kebudayaan antara lain dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, promosi dan pemasaran, dan kerjasama sektor swasta.
Kedua negara memberikan perhatian dengan adanya kunjungan Pangeran Norodom Sihanouk ke Indonesia pada awal Februari 1959, Presiden Soeharto ke Kamboja pada Februari 1997, Presiden Megawati ke Kamboja pada Agustus 2001.
Dan yang terakhir, dalam rangka memenuhi undangan Raja Kamboja, Preah Bat Samdech Preah Boromneath Norodom Sihamoni, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan ke Kamboja pada 28 Februari-1 Maret 2006.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-18 di Jakarta, 7-8 Mei 2011, Kamboja mengirimkan delegasinya yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Hun Sen.
Sementara itu, mengenai konflik Kamboja-Thailand, juga akan dibahas dalam KTT ASEAN Ke-18 di Jakarta, namun tidak dalam sesi khusus. Pertikaian keduanya hanya akan dibahas dalam sesi umum pembahasan masalah-masalah kawasan dan akan wajar bila tidak terselesaikan dalam rangkaian acara itu.
Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, mengatakan, akan ada pertemuan bilateral antara Indonesia dengan Kamboja serta Indonesia dengan Thailand untuk membahas konflik perbatasan yang sudah menelan korban jiwa itu.
Thailand dan Kamboja, kata Marty, sudah meminta jadwal khusus bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara terpisah untuk membahas masalah perbatasan kedua negara.(*)
KR-VFT/A041
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011