Jakarta (ANTARA nEWS) - "Kami tidak butuh dana perubahan iklim. Yang penting hutan kami tetap lestari. Tidak rusak," kata Ketua Forum Masyarakat untuk Penyelamatan Semenanjung Kampar (FMPKS), Deli Saputra.
Itulah yang diungkapkan Deli dalam jumpa pers dengan Greenpeace di Jakarta, Rabu (3/6) mewakili masyarakat sekitar Semenanjung Kampar, Riau, menanggapi dana internasional perubahan iklim yang mulai diterima Indonesia dari Norwegia.
Masyarakat Kampar lebih memilih menyelamatkan hutan Kampar dengan berbagai cara, misalnya menyegel pembukaan pembukaan hutan sampai berkali-kali meminta pemerintah menghentikan perusahaan-perusahaan yang melakukan perusakan hutan, karena kehidupan mereka sangat bergantung kepada hutan.
"Masyarakat lokal seperti kami adalah yang sangat rentan dan paling menderita jika hutan Kampar hancur. Itulah mengapa kami menyambut baik komitmen moratorium dari Presiden, dan mendesak pemerintah untuk segera beraksi menghentikan perusakan hutan," katanya.
Tetapi Deli juga mengatakan apabila memang ada dana perlindungan hutan dari negara lain, mereka berharap dana itu juga akan memberi kesejahteraan bagi masyarakat lokal.
Pada 26 April 2010, Pemerintah Indonesia dan Norwegia sepakat melakukan kerjasama konservasi kehutanan untuk mengurangi emisi karbon senilai satu miliar dolar AS.
Penandatangan kesepakatan berbentuk Letter of Intent (LoI) REDD+, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, itu dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim di Government Guest House, Oslo, Rabu sore (26/5).
Sebagai salah tindak lanjut kerjasama tersebut, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penerbitan ijin pengusahaan hutan.
Komitmen moratorium disampaikan Presiden Yudhoyono dalam konfrensi pers bersama dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg sehari sebelum dimulainya Konferensi Iklim dan Hutan Norwegia di Oslo.
Menanggapi rencana pemerintah untuk melakukan moratorium ijin pengusahaan hutan, berbagai LSM menyambut baik, dan menyatakan dukungannya.
Seperti koalisi LSM yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), HuMa, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Konsorsium Pengelola Hutan Kemasyarakatan, Bank Information Center, dan Dewan Kehutanan Nasional (Kamar Masyarakat).
Mereka menyambut baik beberapa beberapa butir kesepakatan penting, antara lain dukungan terhadap partisipasi dari masyarakat adat, dan upaya untuk membangun strategi nasional pengurangan emisi yang mengatasi semua penyebab utama emisi karbon dari hutan dan lahan gambut di Indonesia.
Juga kesepakatan mengenai inisiatif untuk membuat instrumen pendanaan yang menjamin transparansi di semua aspek dan mendukung representasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, masyarakat adat dan lokal dalam struktur tata kelola pendanaan.
Serta adanya upaya penundaan konversi lahan gambut dan hutan alam yang disebut pada fase kedua kesepakatan ini.
Sedangkan Kepala Departemen Kampanye Walhi, Teguh Surya mengatakan pihaknya tidak menentang pelaksanaan REDD+.
"Yang kita tidak setuju REDD+ saat ini untuk meraup uang, emisi karbon, dan melegalkan lembaga international salah satunya Bank Dunia," katanya.
Mereka meminta kepada pemerintah agar menjamin realisasi partisipasi penuh dan efektif dan tersedianya ruang representasi masyarakat adat atau lokal dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan, pelaksanaan, membuat keputusan dan evaluasi proyek REDD+ di Indonesia.
Koordinator CSF, Giorgio Budi Indrarto mengatakan mereka menuntut kepada pemerintah agar ada partisipasi penuh dan efektif dari publik, terutama masyarakat sipil, masyarakat adat/lokal dalam penyusunan Annex LoI ini.
"Pemerintah agar menyusun safeguard (jaring pengaman) yang mencakup aspek sosial dan lingkungan yang dan memasukkan prinsip free and prior informed consent atau persetujuan tanpa paksaan dengan informasi awal," katanya.
Pemerintah juga perlu segera mengambil langkah-langkah dini untuk mencegah pemberian izin konversi hutan alam dan lahan gambut serta logging sejak fase pertama kesepakatan ini yaitu 2010, termasuk mencabut PP No. 10 tahun 2010 dan PP No. 24 tahun 2010 dan memperkuat kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat keluar negeri.
"Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi izin-izin yang sudah dikeluarkan di hutan alam dan lahan gambut tapi belum dilaksanakan, antara lain melalui penyediaan lahan pengganti (land swap) dengan kriteria-kriteria yang ketat," katanya.
Segera moratorium
Greenpeace mendesak kepada pemerintah untuk melakukan langkah nyata dengan segera menerapkan moratorium pengusahaan hutan sebagai tindak lanjut nota pernyataan bersama (Letter of Intent/LoI) Indonesia dan Norwegia pada sektor kehutanan.
"Moratorium merupakan respon positif komitmen presiden, tetapi yang kita butuhkan adalah tindakan segera moratorium, karena konversi hutan masih berlangsung, " kata Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/6).
Zulfahmi mengatakan pemerintah Indonesia bisa dipermalukan oleh dunia internasional apabila tidak segera melakukan moratorium karena pembukaan hutan secara masif masih berlangsung.
Greenpeace sendiri telah melakukan pengecekan ke berbagai lokasi di Sumatra dan menemukan pembukaan hutan masih berlangsung.
Zulfahmi mencontohkan beberapa perusahaan pemegang izin HTI masih melakukan aktivitas seperti PT Rimba Hutani Mas di Sumatra Selatan, PT Tebo Multy Agro di Jambi, PT Artelindo Wiratama di Riau, PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau dan PT Sumatera Riang Lestari di Hutan Kerumutan Riau.
"Pekan lalu Presiden telah mendeklarasikan moratorium penebangan hutan selama dua tahun. Tetapi ini tidak akan bisa menyelamatkan sekitar 1,8 juta hektare hutan yang telah ditetapkan, dari kehancuran tanpa intervensi terhadap konsesi yang telah ada," katanya.
Tanpa itu Presiden tidak akan bisa mencapai komitmennya menurunkan emisi Indonesia hingga 26 persen dengan atau tanpa bantuan internasional
Jika Indonesia ingin menurunkan emisi secara cepat dan signifikan, moratorium ini harus diaplikasikan dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menghentikan semua konversi lahan gambut dan hutan, baik konsesi baru maupun yang telah ada.
Selesaikan permasalahan
WWF-Indonesia melihat pemerintah harus menyelesaikan masalah hutan sebelum pelaksanaan REDD+, misalnya mengenai hak masyarakat adat, tata ruang dan tata wilayah, tata pemerintahan yang baik dan pembagian manfaat yang jelas.
"Ada tantangan untuk menyelesaikan berbagai isu kehutanan itu sebagai pra kondisi untuk pelaksanan REDD," kata Direktur Iklim dan Energi WWF-Indonesia Fitrian Ardiansyah.
Dia mengatakan ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk pelaksanaan REDD+ di Indonesia antara lain jaminan proses pengembangan dan regulasi REDD+ bisa diformulasikan dalam pembangunan di Indonesia.
"Hal itu agar REDD+ bisa masuk pada internal pembangunan, maka harus jadi kebijakan sektor dan daerah. Supaya REDD+ tidak dikesampingkan, " katanya.
Hal kedua yaitu agar pemerintah memastikan permasalahan kehutanan dan REDD bisa diselesaikan, seperti MRV (monitoring, reporting and verification) , hak masyarakat adat dan distribusinya.
Hal ketiga yaitu adanya mekanisme pengelolaan keuangan yang tepat yang menjamin pendistribusian dana REDD+ sampai ke aktor yang tepat seperti institusi yang mengelola hutan.
Pada akhirnya, moratorium diharapkan memang untuk kebaikan semua, baik masyarakat sekitar hutan maupun untuk alam Indonesia sendiri.(N006/A025)
Oleh Nur R Fajar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010