Jakarta (ANTARA News) - Media massa nasional akhir-akhir ini gencar memberitakan rencana penawaran saham perdana kepada publik (initial public offering/IPO) PT Krakatau Steel (KS), yang dijadwalkan tercatat (listing)di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 10 November 2010.
IPO saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) biasanya ditunggu investor karena terbukti saham perusahaan milik negara selalu menjadi saham unggulan.
Sesuai dengan rencana, KS akan melepas kepemilikan sahamnya kepada publik sebesar 30 persen. Pada tahap awal akan dilepas sebesar 19,61 persen saham baru atau setara dengan 3,155 miliar lembar.
Menteri BUMN Mustafa Abubakar pada Senin (25/10) menetapkan harga IPO saham KS sebesar Rp850 per lembar. Dengan begitu dana yang akan diperoleh perusahaan baja "pelat merah" tersebut akan mencapai sekitar Rp2,68 triliun.
Namun, sejak diumumkan bahwa harga IPO KS sebesar Rp850 per lembar, maka sejak itu pula pro dan kontra atas penetapan harga itu muncul.
Sebagian kalangan menilai harga Rp850 per lembar terlalu murah, bila dibandingkan dengan harga penawaran kepada calon investor pada rentang Rp800 hingga Rp1.150 per lembar.
Alasan terlalu murah karena bercermin pada prospek usaha KS yang dinilai bagus, KS merupakan perusahaan milik negara (BUMN), dan kondisi pasar saham Indonesia yang sangat kondusif.
Bahkan hasil dariroadshow penawaran IPO KS ke luar negeri, yaitu Singapura, Hong Kong, London dan New York, serta penawaran di dalam negeri terjadi kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga sembilan kali. Ini menunjukkan bahwa minat investor untuk memiliki saham KS sangat tinggi.
KS memang memiliki kinerja keuangan yang kembali membaik. Hingga September 2010 perusahaan itu membukukan laba bersih sebesar Rp1,057 triliun, meningkat tajam dibanding perolehan laba selama 2009 yang hanya mencapai Rp494,4 miliar.
Selain itu, KS juga memiliki prospek yang sangat menjanjikan karena merupakan memiliki pangsa pasar yang besar sebagai produsen 96 persen baja nasional, dan merupakan salah satu produsen baja terbesar di Asia Tenggara.
Sejatinya KS sudah mendapat izin dari DPR untuk melakukan IPO sejak dua tahun lalu. Akan tetapi, mengalami penundanaan karena situasi pasar belum memungkinkan terkait dengan dampak krisis ekonomi sejak tahun 2008.
Ibarat gadis cantik, KS memang memikat. Sebut saja Archellor Mittal, salah satu perusahaan baja terbesar di dunia asal India, sempat kepincut akan masuk ke KS melalui pola strategic sale.
Tidak itu saja, tiga perusahaan baja lainnya, BlueScope Steel International (Australia) dan Tata Steel Ltd (India), Essar International Ltd turut mewarnai persaingan produsen baja tersebut untuk mendapatkan saham KS.
Ketika itu, Mittal berencana memborong saham KS seharga 10 miliar dolar AS, dengan tiga skenario menjadi investor utama KS, menawarkan usaha patungan untuk pengembangan KS, dan mendirikan perusahaan bersama untuk penambangan batu bara, bijih besi, nikel dan mangan.
Adapun BlueScope Steel menjanjikan peningkatan teknologi, peningkatan kemampuan tenaga kerja dan perluasan pasar untuk KS.
KS memang membutuhkan dana investasi sekitar 600 juta dolar AS untuk meningkatkan kapasitas produksi hingga lima juta ton pada 2011.
Namun, rencana menjual KS kepada investor asing ketika itu kemudian mengundang polemik dan reaksi dari sejumlah kalangan karena dianggap berpotensi merugikan negara, dan diduga kental permainan politik terutama dikaitkan dengan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009.
Pada akhir 2009, penjualan baja KS tercatat sebesar 1,996 juta ton, turun dibandingkan pada 2008 yang mencapai 2,062 juta ton. Namun mulai membaiknya perekonomian dunia, permintaan bahan baku baja di sektor energi serta pertumbuhan infrastruktur terus meningkat.
Kondisi ini membawa kembali kondisi perseroan dalam keadaan stabil, khususnya pada 2010. Pada semester I-2010, penjualan baja KS mencapai 1,153 juta ton, naik 30,28 persen dibandingkan periode yang sama pada 2009, sebesar 885.000 ton.
KS yang memiliki pengalaman memproduksi baja selama 40 tahun sejak berdiri pada 1970, kini memproduksi beragam produk baja. Produk utama KS adalah baja lembaran terdiri dari Hot Rolled Coil (HRC) dan Cold Rolled Coil (CRC). Produk lainnya adalah Wire Rod.
Produksi HRC KS tercatat sebanyak 2,3 juta ton dari 8,3 juta ton produksi HRC nasional di 2009. Untuk produk CRC, KS memproduksi 850.000 ton dari total permintaan nasional sebanyak 1,4 juta ton. Sedangkan untuk produk Wire Rod, KS menyumbangkan 700.000 ton dari permintaan dalam negeri sebanyak 800.000 ton.
Pada 2011, KS menargetkan dapat menguasai pangsa pasar (market share) baja nasional sebesar 65 persen. Untuk itu, KS berencana menambah kapasitas pabriknya sebesar 500.000 ton menjadi 2,5 juta ton. Saat ini kapasitas perseroan sebesar 2 juta ton.
Polemik
Setelah privatisasi KS melalui pola strategic sale mentah, pemerintah kembali pada opsi IPO dengan melepas saham kepada publik hingga 20 persen.
Dalam penawaran ini, perseroan menunjuk tiga perusahaan sekuritas BUMN sebagai penjamin pelaksana emisi (underwriter), yaitu PT Bahana Securities, PT Danareksa Sekuritas dan PT Mandiri Sekuritas.
Jika semua proses IPO berjalan mulus, maka bertepatan pada hari Pahlawan 10 November 2010 perusahaan yang memiliki pabrik di Cilegon, Propinsi Banten ini resmi perusahaan publik (terbuka).
Namun, tiga pekan sebelum tercatat di BEI, desakan untuk membatalkan IPO KS bergulir. Sejumlah kalangan juga meminta dilakukan audit terhadap proses IPO KS.
Suara paling keras dilontarkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, yang menengarai ada kejanggalan atas rencana penjualan saham KS itu, dan dinilai juga terlalu murah.
"Rencana penjualan saham KS patut dicurigai ada unsur korupsi, kolusi dan nepotisme dan penuh konspirasi," tegas Amien.
Senada dengan itu, Direktur Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, mengatakan bahwa kasus IPO KS ini bisa menjadi preseden buruk seperti halnya ketika penjualan PT Indosat ke Temasek, Singapura.
"Polanya memang beda, tetapi pada prinsipnya menimbulkan kerugian negara. KS ini bisa menjadi `Indosat jilid II`," kata Marwan.
Harga saham KS yang dianggap tidak logis juga disampaikan anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo.
"IPO Krakatau Steel ditunda dulu atau dibatalkan, dan dilakukan dahulu penghitungan ulang atas harga jual KS," ujar Bambang yang juga Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar.
Ketua Umum BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen, menduga keras bahwa dalam penetapan harga IPO KS yang terlalu rendah tesebut melibatkan oknum dari partai politik yang dikaitkan dengan pengumpulan dana menjelang Pemilu 2014.
"Indikasi ini terlihat mulai dari kebijakan penentuan harga yang terlalu murah dan kemungkinan terkonsentrasinya pemilikan saham di satu kekuatan," kata Naldy.
Berbagai tanggapan miring tersebut dibantah langsung oleh Menteri BUMN, Mustafa Abubakar.
Menurut dia, penetapan sebesar Rp850 per lembar merupakan harga yang paling optimal.
"Penetapan harga saham Krakatau Steel sudah maksimal, dan mengakomodir investor tier one (investor jangka panjang)," katanya.
Direktur Utama Mandiri Securitas, Harry M. Supoyo, menambahkan bahwa penetapan Rp850 per lembar itu sudah mencerminkan rasio harga terhadap laba bersih (price to earning ratio/PER) sebesar 9,9 kali berdasarkan proyeksi laba 2010.
"Kalau bicara PER, yang dirancang untuk Krakatau Steel 9,9 kali itu masih lebih tinggi dari rata-rata PER saham industri baja regional Asia seperti Posco di Korea dan Tata Steel India," katanya.
Tentunya, harga IPO saham KS terlalu rendah atau sudah optimal,
sangat tergantung dari sisi atau kacamata yang menilainya. Dari sisi penjamin emisi harga optimal tersebut tercermin dari PER saham industri baja, yang saat ini berkisar 8,7 kali sampai 8,8 kali berdasarkan proyeksi laba tahun 2010.
Dirut Danareksa Sekuritas, Marciano Herman, mengatakan bahwa penetapan harga setelah mempertimbangkan sisi permintaan dan penawaran dari investor domestik dan asing. Adapun komposisi pembeli saham KS adalah 35 persen investor asing dan 65 persen investor lokal.
Saat proses book building permintaan di harga Rp800 miliar sebanyak 32 miliar lembar, pada harga Rp1.150 sebanyak 18 miliar lembar. Namun, di kisaran Rp850-Rp900 per lembar, permintaan turun hingga setengah atau hanya mencapai sekitar 16 miliar lembar.
Berdasarkan faktor-faktor itu, maka penjamin emisi mengusulkan Rp850 per lembar, kemudian diterima emiten kemudian ditetapkan Menteri BUMN.
Meski Kementerian BUMN dan penjamin emisi menyampaikan hasil analisisnya, namun desakan untuk menunda IPO KS tetap saja tidak surut. Bahkan, sebanyak 13 pengamat ekonomi dan pasar modal mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) kepada Kementerian BUMN.
"Atas dasar kepentingan umum untuk memperoleh sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, menyatakan mengajukan gugatan actio popularis (citizen law suit), menuntut pembatalan IPO KS," kata Marwan Batubara.
Adapun penggagas gugatan ini adalah pengamat pasar modal, Adler Manurung dan diikuti oleh para ekonom dan tokoh lainnya yang bergabung yakni Sri Edi Swasono, Kwik Kian Gie, Adhie Massardi, Sumarno M, Rushadi, A Razak L, Hendri Saparini, Ichsanudin Noorsy, William RL Tobing, Erwin Ramedhan dan Fahmi Radi.
Dugaan adanya indikasi penyimpangan dalam IPO KS tersebut juga memicu usulan agar Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) turun tangan untuk membuka data investor kepada publik.
BUMN Terbuka
Terlepas dari gonjang-ganjing KS tersebut, sejatinya opsi penjualan saham kepada publik dari perusahaan milik negara merupakan salah satu pola privatisasi yang terbaik.
Terbukti dari 16 BUMN yang tercatat saham di bursa saham, seluruhnya memiliki kinerja keuangan yang bagus.
Menjadikan BUMN sebagai perusahaan publik dapat mendorong terciptanya azas transpransi dan tata kelola perusahaan yang baik dan benar (GCG) di setiap perseroan.
Perusahaan lebih terbuka, sehingga pengawasan dan kontrol dari masyarakat atau publik menjadi lebih mudah.
Saat ini, tercatat 16 BUMN tercatat di Bursa Efek Indonesia, dengan nilai kapitalisasi Rp821,57 triliun atau mengkontribusi sebesar 26,65 persen dari total kapitalisasi pasar saham dalam negeri yang mencapai Rp3.083,39 triliun.
Menurut catatan, 16 BUMN yang melantai di bursa saham yaitu, PT Telkom Indonesia, PT Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang, PT Bank Tabungan Negara, dan PT Bank Mandiri.
Selanjutnya, PT PP, PT PGN, PT Jasa Marga, PT Timah, PT Indo Farma, PT Kimia Farma, PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Wijaya Karya, PT Adhi Karya, dan PT Semen Gresik.
Kinerja keuangan ke 16 perusahaan itu tidak kalah dibanding dengan emiten lainnya yang merupakan perusahaan swasta.
Adapun tolak ukur yang digunakan adalah tingkat profitabilitas, tingkat pengembalian melalui pembagian dividen, kesehatan neraca, dan pergerakan saham secara relatif.
Dalam lima tahun terakhir laba bersih emiten BUMN tumbuh sebanyak 23,7 persen, sementara non-BUMN hanya sebesar 19,6 persen.
Emiten BUMN secara konsisten juga mendistribusikan dividen rata-rata sebesar 45 persen dari laba bersihnya dalam 5 tahun terakhir.
Dengan mengikuti jejak 16 perusahaan yang terlebih dahulu masuk di pasar modal, bukan tidak mungkin Krakatau Steel juga bakal menjadi salah satu emiten BUMN yang menjadi primadona, atau menjadi saham unggulan.
(T.R017/A023/P003)
Oleh Roike Sinaga
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010