Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai "Letter of Intent" (LoI) antara Norwegia dan Indonesia mengenai moratorium hutan merupakan itikad untuk penyelamatan hutan.

"Walhi menilai moratorium penebangan hutan merupakan itikad baik yang perlu diapresiasi dan didukung semua pihak, karena selama ini kerusakan hutan terus terjadi dan orang-orang tertentu menikmatinya," kata direktur kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Muhammad Teguh Surya di Jakarta, Rabu.

Dia menilai, selama ini korporasi sudah terlalu lama menikmati kesenangan dan kekayaan dari carut marutnya tata kelola disektor kehutanan seperti, adanya mafia hukum, lemahnya pengawasan, tumpang tindih kebijakan, serta tumpang tindih perijinan.

Menurutnya, moratorium yang lebih dikenal dengan Moratorium Oslo itu tidak akan menganggu ekonomi kerakyatan akan tetapi sangat mengganggu konglomerat hitam (korporasi hitam), karena jutaan hektar lahan hutan hanya dikuasi oleh segelintir orang saja dengan jangka waktu puluhan tahun.

Misalnya, di Kalbar, data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat hingga Desember 2009 mengatakan bahwa total luas kebun sawit berdasarkan ijin yang dikeluarkan telah mencapai 3.592.633,66 ha dan hanya di miliki oleh 15 group.

Dia mengatakan, saatnya sekarang Indonesia memulihkan tata kelola disektor kehutanan, agar sumberdaya alam ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Sejalan dengan semangat pemulihan tersebut, maka pemerintah perlu memperkuat diri agar pelaksanaan moratorium tidak terbatas hanya pada jangka waktu dua tahun dan harus meng-cover hutan alam bukan hanya hutan primer.

Sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, Moratorium Oslo baru akan dlaksanakan pada 2011 dan akan diberikan jeda penebangan selama dua tahun.

Sementara pihak Norwegia berniat memberikan dana sebesar satu miliar dolar AS namun ditolak oleh pemerintah karena Indonesia ingin benar-benar siap saat dana tersebut dikelola yaitu pada 2011 sebagaimana kesepakatan.
(D016/A025)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010