Banjarmasin (ANTARA News) - Ratusan aliran sungai di Kota Banjarmasin saat ini telah menghilang, yang sebagai besar diakibatkan ulah manusia dan degradasi alam yang terjadi di ibu kota Kalimantan Selatan itu.
Bachtiar Noor, pengamat sungai dan tata kota, di Banjarmasin, Selasa, mengatakan, ulah manusia dan degradasi alam di Kota Banjarmasin telah mengakibatkan ratusan aliran sungai di kota itu perlahan menghilang.
Bahkan, tindakan manusia yang sangat mengganggu dan merusak aliran sungai, hingga kini masih saja terjadi, dan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah setempat, katanya menandaskan.
Ia menjelaskan, degradasi atau penurunan kualitas alam di Kota Banjarmasin sudah terjadi sejak tahun delapan puluhan, yang mana pemerintah saat itu mengeluarkan larangan untuk ekspor kayu log.
Dengan adanya larangan tersebut, maka berkembanglah tempat pengolahan kayu yang ada di kawasan Pelambuan Banjarmasin, yang mana lapangan pekerjaan tersebut menyerap banyak tenaga kerja hingga tepi sungai kemudian dipenuhi pemukiman penduduk.
"Pemukiman penduduk yang banyak akibat banyaknya lapangan pekerjaan pengolahan kayu itu, telah membuat beberapa tempat di aliran sungai tertutup rumah yang dibangun warga," ujarnya.
Selain itu, hilangnya ratusan sungai juga diakibatkan dari banyaknya pendirian rumah, bangunan dan beberapa infrastruktur yang tak ramah lingkungan dengan memojokan keberadaan sungai.
Saat ini berdasarkan data, sepertiga dari empat ratusan sungai telah hilang dan diperkirakan yang masih tersisa sekitar 108 sungai saja di Kota Banjarmasin.
Jumlah sungai yang hilang tersebut akan terus bertambah seiring dengan masih banyak atau maraknya penyempitan aliran sungai akibat dari banyaknya rumah penduduk yang berada di bantaran sungai.
"Sungai akan terus berkurang karena masih maraknya pembangunan rumah penduduk yang di kawasan bantaran sungai," ucap Bachtiar.
Hal tersebut diperparah dengan belum adanya kesadaran pemerintah daerah terhadap pentingnya sungai bagi kelestarian alam di wilayah Kota Banjarmasin saat ini, demikian Bachtiar. * (ANT-088/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010