Jakarta (ANTARA News) - Sebagai orang yang pernah menimba ilmu agama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Muhammadiyah dan alumnus SD Muhammadiyah di Garut (1964-1969), saya tertarik melihat film Sang Pencerah (SP) garapan Hanung Bramantyo. Sineas muda yang juga menggarap AAC (Ayat Ayat Cinta) ini memang patut diacungi jempol.
Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan).
Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang.
Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak.
Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.
Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah.
Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin.
Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan lilalamin.
Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran.
Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati.
Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar Ngayogyakarta pada saat itu.
Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi.
Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve.
Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.
Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh hawa nafsu.
Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).
Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan.
Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak ada Islam".
Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi.
Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru.
Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun.
Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan.
Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal.
Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem.
Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD.
Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah 'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'.
Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak semudah membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi bahkan bisa dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan Tuhan. Dus, modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi.
Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD).
Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.
Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola.
Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan'.
Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan.
Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai perserikatan non-politik.
Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks.
Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah. (***)
*) Pengurus ICMI
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010