Hal itu disampaikannya dihadapan Sidang Pembukaan Pertemuan Para Ahli Konvensi Senjata Biologi (KSB) di Jenewa, ujar sekretaris Pertama Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa, Yonatri Rilmania, dalam keterangan persnya yang diterima ANTARA News di London, Rabu.
Djani mengatakan, senjata biologi kemungkinan digunakan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab yang bermaksud menggunakan secara ilegal.
Dalam kaitan ini, pemerintah, laboratorium dan industri terus menghadapi sejumlah penyakit seperti flu burung, rabies, salmonella, anthrax, dan flu babi (swine flu).
Selain itu, peningkatan globalisasi telah berdampak pada sifat dan penyebaran penyakit tersebut yang berdampak langsung pada sektor perdagangan, investasi dan pariwisata.
Setiap negara harus bertanggungjawab bagi keselamatan dan keamanan atas material dan fasilitas biologi mereka berkenaan dengan manusia dan binatang, dari pencurian, sabotase, dan kegiatan ilegal lainnya, ujarnya.
Menurut dia, masalah materi biopathogens dan biologi harus dijalin melalui kerjasama internasional, dan pengaturan transparan dan saling bermanfaat antara negara pihak sesuai dengan Pasal X pada Konvensi Senjata Biologi.
Pasal X Konvensi juga menyatakan setiap Negara pihak memiliki hak untuk partisipasi penuh dalam pertukaran perlengkapan, materi dan teknologi ilmiah berkenaan dengan penggunaan bahan dan toksin biologis untuk keperluan damai.
Dengan demikian, ia mengemukakan, kerjasama yang lebih luas juga akan menciptakan suatu sistem pengawasan dan pendeteksian serta pemajuan pemahaman yang lebih baik antara para pemangku kepentingan yang relevan di bidang ini.
Dalam kaitan ini, Indonesia telah menjalin kerjasama kemitraan dengan sejumlah negara maju, salah satunya melalui proyek bersama dalam Biosecurity Management Strategies for Disease Investigation Centres (DICs) di berbagai daerah di Indonesia dan tengah menyelesaikan suatu nota kesepahaman di bidang Capacity Building to Strengthen the Security of Biological Pathogen.
Dengan kontribusi Indonesia dalam mengembangkan kerjasama internasional diharapkan negara-negara lain juga dapat lakukan hal yang sama dalam rangka mengedepankan transparansi dan pertukaran informasi demi peningkatan upaya pengembangan kapasitas dan sebagai langkah nyata yang sejalan dengan tujuan-tujuan yang terkandung dalam Konvensi Senjata Biologi.
Indonesia dalam pembicaraan itu diwakili Deputi Direktur Lembaga Eijkman, Dr. Herawati Sudoyo, yang juga membagi keahliannya untuk mengatasi kebutuhan dan tantangan memajukan kapabilitas nasional dalam mengawasi penyakit, deteksi dan diagnosa dan sistem kesehatan publik di dalam rapat kerja KSB.
Indonesia telah menjadi pihak pada Konvensi Senjata Biologis pada tanggal 19 Februari 1992. Sebanyak 163 negara telah menjadi pihak pada Konvensi dimaksud. Pertemuan KSB ini akan berlangsung hingga 27 Agustus 2010.
Pertemuan kali ini dimaksudkan untuk membahas topik yang telah ditentukan pada Konferensi Kaji Ulang ke-6 yaitu pemajuan pembangunan kapasitas dalam bidang pengawasan penyakit, deteksi, diagnosa dan pencegahan.
(U.ZG/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010