Colombo (ANTARA News) - Jika bukan karena penduduknya yang dipenuhi wajah-wajah Asia Selatan dan mirip Arab Hadrami, belum lagi dominasi tulisan Sansekerta di papan-papan reklame, Anda pasti menyangka Colombo, Maskeliya, Galle, Kandy, atau daerah lain di Srilangka, adalah Indonesia.
Bagaimana tidak, alam, kosa kata, dan atmosfer sosialnya mirip di Indonesia. Bahkan suasana perumahan-perumahannya seperti di kota-kota Indonesia, di mana tukang sayur berteriak-teriak menjajakkan dagangannya.
Teriakan "sayur" atau "cakwe" seperti umum didengar warga kota Bandung setiap pagi misalnya, terdengar pula di setiap pagi di Colombo. Tentu saja pedagang Srilangka menggunakan Bahasa Sinhala atau Tamil.
Jika di Bali ada Singaraja, maka di Srilangka pun ada kota bernama itu. Anda orang Garut? Jangan anggap hanya Anda yang mempunyai kecamatan Wanaraja, karena di Srilangka pun ada Wanaraja.
Pun demikian dengan nama buah-buahan dan sayuran mereka mirip, bahkan dinamai sama dengan Bahasa Indonesia.
"Itu rambutan," kata Sanjaya, pria Sinhala yang mengantarkan ANTARA menyusuri beberapa sudut kota yang sudah ribuan tahun dikenal manusia itu.
Sanjaya menyebut kata "rambutan" untuk buah yang memang di Indonesia bernama "rambutan."
"Orang Indonesia juga menggunakan kata `dirgahayu` untuk selamat ya?" tanya Indira Priyadarshini Nawagamuwa, produser Sri Lanka Broadcasting Commission. "Kami juga menyampaikan selamat dengan kata itu," sambungnya.
Lain hal, banyak sudut kota yang mirip-mirip Indonesia, seperti area Galle Face yang menyerupai Pantai Losari dan kawasan Benteng Makassar di Sulawesi Selatan.
Jalanan dalam kotanya pun selebar dan seeksotis kawasan Ijen di kota Malang atau daerah Cipaganti di Bandung.
Yang agak mengganggu dari Colombo dan Srilanka adalah terlalu banyak tentara menyandang senapan Kalashnikov atau AK-47 versi China (Tipe 56) menjaga daerah-daerah tertentu.
"Mengapa sih tentara ada di mana-mana?" tanya ANTARA kepada Priyantha Wedamula, produser program pada TV Rupavahini.
Priyantha hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, seolah ingin mengatakan, "Ya begitulah."
Meskipun terlihat garang dengan pakaian tempur, dan sebagian diantaranya siap setiap saat di pos-pos kecil dikelilingi kantong-kantong pasir, tentara-tentara itu cukup ramah.
Seorang sersan beridentitas Sinhala mengumbar senyum ketika ANTARA menyapa dan meminta izin untuk mengambil gambarnya.
"Saya special force (pasukan khusus)," akunya sambil menggenggam erat Kalashnikov dengan senyum penuh kebanggaan menjadi anggota pasukan elite Srilangka.
Si sersan menjaga satu sudut Galle Face Road, dekat Gedung Mahkamah Srilangka.
Jika Anda mempelajari rangkaian panjang konflik Sri Lanka, maka Anda akan memaklumi kehadiran tentara dan polisi bersenjata di banyak tempat di Colombo, dan sejumlah daerah bekas konflik lainnya seperti Jaffna di Srilanka utara.
Ketika itu teror di mana-mana, entah tembakan sporadis, bom, atau bahkan serangan pesawat udara. Biasanya serangan menyasar situs-situs keramaian atau di mana orang-orang Sri Lanka berkumpul.
Mungkin itu yang membuat warga Srilangka segan membuat kumpulan-kumpulan. Jadi, jangan heran kalau Anda sulit menemukan pasar atau tempat jajanan terbuka. Tapi itu tidak terjadi di kota-kota kecil di daerah tengah dan selatan Srilangka.
Cara orang Srilangka berkendara pun unik, seakan selalu terburu-buru atau menghindari ditembak orang yang memang kerap terjadi di waktu lalu.
Hampir semua orang Srilangka mengendarai kendaraan kencang-kencang, seolah mereka sedang mengendarai kendaraan mainan, "srantal sruntul" seperti pengemudi motor dan bajay di Indonesia.
Bajay
Warna dominan yang mencat kehidupan warga Colombo adalah "three wheeler" (bajay) atau sering juga disebut "tuk-tuk". Kalau di Indonesia bajay-bajay itu hanya untuk wilayah dalam kota, maka di Srilangka kendaraan roda tiga itu dipakai di seluruh daerah.
Bajay-bajay Jakarta tak pernah membawa penumpang jauh-jauh, misalnya ke Bandung. Tapi di Srilangka, "tuk tuk" bisa dipakai untuk perjalanan jarak jauh, misalnya dari Maskeliya ke Colombo, yang jaraknya sekitar 220 km.
Lantas, berapa ongkosnya?
"5.000 rupee (sekitar Rp400.000),!" jawab Tayub Ali, sopir bajay di Maskeliya, Srilanka Tengah, sigap sekali.
Dia menyangka ANTARA serius hendak "berbajay" dari Maskeliya ke Colombo sehingga terus berharap ANTARA mau menawar harga itu, laksana Macan Tamil berunding dengan pemerintah Sri Lanka.
ANTARA hanya ingin tahu apakah "tuk tuk" juga dipakai untuk pergi jauh, mengingat kendaraan mungil itu ada di mana-mana, sampai ke desa-desa di bawah perbukitan kuno Seven Virgins yang merenggut 182 haji Indonesia 36 tahun silam.
Faktanya, tuk tuk atau bajay adalah kendaraan umum paling kerap berkeliaran di Srilangka, disamping bus kota Tata buatan India yang pernah merajai kota-kota besar Indonesia pada 1970an dan awal 1980an.
Mengenai statistik tuk tuk atau bajay ini, berdasarkan catatan tahun 2007, ada sekitar 400.000 bajay di Sri Lanka.
Kalau penduduk negara itu 20 juta orang, maka untuk setiap 50 orang tersedia satu bajay. Sopir-sopir bajay di Jakarta mungkin tercengang mengetahui statistik ini.
Satu lagi yang mirip antara "dunia perangkotan" Srilangka dengan dunia sejenis di Tanah Air, adalah kegemaran para sopir menuliskan kata-kata mutiara pada bajaynya.
Beberapa kalimat itu kalau dialihkan ke Bahasa Indonesia bisa berarti "Cinta Pertama Itu Abadi", "Senyum Itu Harta Tak Ternilai", dan banyak lagi. Kata-kata yang dituliskan rata-rata filosofis, mungkin diambil dari ajaran Budha.
Tapi jangan harap mereka menuliskan kata atau relief-relief cenderung porno pada bajay mereka seperti biasa dilakukan sopir-sopir angkot dan truk pengangkut barang di Indonesia.
Kota-kota Indonesia memang lebih bersih dan asri dari Sri Lanka, tapi tampaknya mulut orang-orang Sri Lanka lebih bersih dari mulut sebagian orang Indonesia yang gemar mengumbar kata dan pesan-pesan cabul di ruang publik.
Pada September 2009, tuk tuk pernah dipakai untuk kampanye pariwisata guna mempromosikan Srilangka aman pasca perang saudara.
Waktu itu 50 "tuk tuk" mengikuti safari keliling negeri dengan jarak tempuh 1.200 km.
"Meski perang saudara telah berakhir, Srilangka tetap dianggap tidak layak dikunjungi, padahal negeri ini indah," kata Abbie Lingwood, pegiat pariwisata asal Australia yang mempromotori acara itu. (*)
(AR09/R009)
Oleh Jafar Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010