Semarang (ANTARA News) - Antropolog Universitas Negeri Semarang, Nugroho Trisnu Brata menilai tayangan "infotainmnet" berakar pada budaya masyarakat yang bermula dari kebiasaan "ngerumpi".
"Jauh sebelum ada tayangan `infotainment` di televisi, kebiasaan `ngerumpi` atau membicarakan orang lain memang sudah ada di kehidupan masyarakat. Itu budaya," katanya di Semarang, Selasa.
Menurut dia, kebiasaan "ngerumpi" itu ternyata mengikuti perkembangan zaman yang mulai mengenal media komunikasi yang lebih canggih, yakni televisi hingga akhirnya ada tayangan "infotainment".
Hal yang patut dicermati lebih jauh dari kebiasaan membicarakan orang hingga menjelma menjadi tayangan "infotainment" tersebut, lanjutnya, adalah konten atau isi pembicaraannya, bukan kemasannya.
"`Ngerumpi` dengan tayangan `infotainment` itu berbeda kemasan, tapi pasti sama-sama membicarakan hal-hal menarik dari orang lain, dan itu yang membuat banyak orang menyukainya," katanya.
Sejauh orang yang dibicarakan itu tidak marah dan menerima, katanya , maka kebiasaan "ngerumpi" itu tidak menjadi permasalahan, namun menjadi masalah besar jika orang yang dibicarakan tidak terima.
Ia mengatakan kebiasaan "ngerumpi" sudah menjadi budaya sebagian masyarakat sehingga menjadi bebas nilai dan tidak bisa dinilai salah atau benar, sebab kebudayaan adalah sesuatu yang bebas nilai.
"Kebudayaan itu bebas nilai. Kebudayaan baru bisa dinilai salah atau benar tergantung dari pemaknaaan terhadap hal itu, bagaimana jika ternyata yang dibicarakan adalah hal-hal yang baik," katanya.
Namun, ia juga mengakui menjamurnya tayangan "infotainment" sangat dipengaruhi oleh faktor pasar yang dengan cepat menangkap peluang di balik budaya "ngerumpi" yang ada di masyarakat.
Menurut dia, tayangan "infotainment" pasti tak pernah sepi dari iklan atau sponsor yang mengindikasikan hal itu merupakan peluang untuk meraih pendapatan besar di dunia pertelevisian.
"Tidak ada kebudayaan yang abadi, karena kebudyaan akan selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai seleksi alamiah, seperti apakah masyarakat masih membutuhkannya," katanya.
Selama masyarakat masih membutuhkan, kata dia, maka suatu kebudayaan akan selalu ada dan berjalan terus, tetapi apabila masyarakat tidak membutuhkan lagi akan hilang atau berubah dengan sendirinya.
"Namun, perubahan kebudayaan tidak bersifat revolusi, melainkan secara pelan-pelan tergantung pengaruh masyarakat, negara, dan pasar," kata mahasiswa S-3 Antropologi Universitas Gadjah Mada itu.
Terkait penyikapan terhadap tayangan "infotainment", ia mengaku keluarga memiliki peranan yang lebih besar dalam mendidik anak-anaknya untuk bisa menyikapi tayangan itu secara bijaksana.
"Keluarga bisa mengajarkan anak-anaknya nilai yang dapat diambil dari tayangan `infotainment`. Cara itu memang bersifat persuasif yang membutuhkan waktu lama, namun efektif," kata Trisnu.(*)
(ANT/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010