Jakarta (ANTARA News) - Memahami Jepang masa feodal memang sebaiknya tidak hanya melalui buku-buku sejarah, tapi juga bisa melalui buku-buku novel fiksi sejarah yang kini banyak bertebaran, di antaranya karya-karya sastrawan Jepang Eiji Yoshikawa.

Salah satu bukunya yang baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diluncurkan baru-baru ini, yakni "The Heike Story : Kisah Epik Jepang Abad Ke-12", terbitan Zahir Books , salah satu divisi dari kelompok penerbit RedLine. Buku ini terbit edisi pertama pada Juni 2010 dan cetak ulang edisi kedua Juli 2010.

Eiji Yoshikawa, seorang novelis Jepang yang lahir tanggal 11 Agustus 1892 dan meninggal 7 September 1962, sebelumya telah dikenal di Indonesia melalui karya-karyanya seperti "Musashi", yang diterjemahkan dan diluncurkan dalam bentuk satu buku novel (sebelumnya dalam beberapa jilid buku ) di Indonesia tahun 2001 dan "Taiko" diluncurkan tahun 2003.

Kedua buku tersebut telah dicetak ulang beberapa kali oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama dan mendapat tempat di hati para penggila novel klasik Jepang di Indonesia.

Hampir mirip dengan novel Musashi dan Taiko, novel The Heike Story yang terbit pertama kali di Jepang tahun 1956 juga merupakan sebuah kisah fiktif berbasis sejarah Jepang masa feodal.

The Heike Story menceritakan mengenai tokoh bernama Heike Kiyomori, seorang panglima muda dari klan Heike, yang hidup pada masa tahun 1118-1186, dan terseret dalam pusaran intrik-intrik politik istana kekaisaran hingga akhirnya memiliki peran penting dalam sejarah pemerintahan Jepang masa itu.

Berbeda dengan novel sejarah Musashi dan Taiko yang pada masanya kekuasaan pemerintahan berada di tangan shogun (panglima militer), maka pada masa hidup Heike, kekuasaan pemerintahan masih berada di tangan kaisar.

Kendati demikian, dikisahkan bahwa pada masa tersebut terjadi banyak kekacauan dan pertikaian bersenjata karena hampir setiap bangsawan tuan tanah memiliki pasukan militer sendiri dan dapat menekan pihak istana. Tidak hanya para bangsawan, bahkan biara-biara besar Budha besar pun bebas mempersenjatai para biksunya sehingga kerap ditakuti oleh masyarakat.

Kekacauan pada masa tersebut membuat istana kekaisaran sangat bergantung pada perlindungan dari klan-klan keluarga bangsawan tertentu yang dianggap loyal dan dapat memberikan jaminan keamanan pada keluarga kekaisaran serta pemerintahan.

Di antara berbagai klan yang berperan pada masa tersebut, terdapat tiga klan yang tercatat memainkan peran penting, yakni klan Fujiwara, Heike dan Genji. Klan Fujiwara memiliki peran penting sebagai klan yang paling dipercaya keluarga kaisar sehingga untuk memperkuat ikatan, pihak keluarga kaisar banyak menikahi putri-putri cantik dari klan Fujiwara.

Tercatat dalam sejarah masa itu, Kaisar Toba (1103-1156) beristrikan Permaisuri Yasuko yang berasal dari klan Fujiwara. Demikian pula Kaisar Sutoku (1121-1181) beristrikan Permaisuri Shoko, Kaisar Konoye (1131-1176) beristrikan Permaisuri Tadako dan berselirkan Shimeko, semuanya dari klan Fujiwara.

Kedekatan itu pulalah yang membuat orang-orang dari klan Fujiwara mampu menempati posisi penting dalam pemerintahan, seperti halnya Perdana Menteri Tadamichi (1097-1164) dan Menteri Golongan Kiri, Yorinaga (1120-1156).

Klan Fujiwara-lah sebetulnya yang mengendalikan pemerintahan pada masa itu hingga ke provinsi-provinsi terjauh sekaligus membuat para bangsawan dari klan tersebut bergelimang kekayaan luar biasa.

Kendati demikian, manisnya kekuasaan dan kekayaan pada akhirnya menggiring terjadinya konflik internal di kalangan bangsawan Fujiwara sendiri. Karena itu, klan ini menggalang dukungan dari dua klan lain yang dianggap kuat pada masa tersebut, yakni klan Heike dan Genji.

Kedua klan tersebut, yang tidak memiliki keterkaitan apapun dengan istana , ditugaskan untuk mengelola keamanan militer wilayah kekuasaan klan Fujiwara di provinsi-provinsi terjauh, dipekerjakan sebagai samurai pengawal istana, meredam gejolak masyarakat serta menengahi pertikaian bersenjata di antara kuil dan biara-biara besar Buddha.

Namun demikian, konflik internal dalam klan Fujiwara sendiri akhirnya menyeret klan Heike dan Genji untuk saling mengadu domba faksi-faksi di dalam tubuh klan Fujiwara.

Pada pertengahan abad itulah, terjadi pertikaian militer besar-besaran di antara para bangsawan, yang akhirnya membuat klan Heike, dibawah panglima muda mereka Heike Kiyomori, mengakhiri dominasi klan Fujiwara sekaligus menjatuhkan saingannya, yakni klan Genji.

Kendati demikian, sejarah juga mencatat bahwa pada seperempat abad kemudian, klan Genji akhirnya berhasil menggulingkan klan Heike dan menguasai pemerintahan.


Sejarah Klasik Jepang

Kisah The Heike Story (Hikayat Heike) ini menarik untuk dibaca karena dapat semakin memperdalam pemahaman kita mengenai sejarah klasik Jepang, terutama terkait konflik-konflik politik abad-12, sebelum Shogun Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang dan memerintah negeri itu sebagai diktator militer, sekaligus memarjinalkan peran kaisar.

Novel ini juga menarik karena ditulis oleh pengarang Jepang , Eiji Yoshikawa, yang teknik menulisnya sangat mengandalkan pada alur cerita yang kuat berbasiskan fakta sejarah.

Berbeda dengan sastrawan-sastrawan Prancis dan Rusia yang sering mempengaruhi gaya para sastrawan Jepang lainnya, Eiji Yoshikawa tidak bertele-tele dalam membangun kisah pada setiap bab novelnya. Kalaupun terdapat bab-bab yang mengisahkan tokoh lain (bukan tokoh utama), namun pada ujungnya ternyata bermuara pada kisah si tokoh utama.

Hal lain yang menarik pada novel-novel karya Yoshikawa yakni tokoh utama ternyata tidak selalu menjadi pahlawan utama Sejarah atau rangkaian peristiwa yang tidak terduga, adalah protagonis yang mencakup segalanya dan para tokoh besar hanyalah sosok-sosok yang sejenak terselamatkan dari arus deras waktu (hal.749).

Buku novel setebal 750 halaman tersebut dilengkapi dengan diagram silsilah keluarga kaisar pada masa itu, serta silsilah penting terkait keluarga klan Heike, Fujiwara dan Genji. Hanya saja, akan lebih baik bila buku ini juga dilengkapi dengan daftar nama-nama tokoh penting serta perannya dalam kisah tersebut mengingat banyak sekali nama tokoh yang bermunculan dan terkadang kemunculannya terjadi pada dua bab yang terpisah jauh.

Akan lebih baik lagi bila buku ini dilengkapi pula dengan halaman khusus daftar mengenai istilah-istilah tertentu atau penjelasan mengenai konteks tertentu dalam sejarah politik dan budaya Jepang, sehingga bagi orang awam yang baru pertama kali membaca buku novel sejarah klasik Jepang, akan dapat mencerna dengan lebih mudah.(*)
(Y006/R009)

Oleh Oleh Yuri Alfrin Aladdin
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010