Jakarta (ANTARA News) - Inilah keadaannya, saat keluar dari depan pintu rumah sedikit yang sadar bahwa perang sedang berlangsung. Tanah air sedang digempur produk berlabel "Made in China" yang mengalir bak air bah.
Ya, genderang perang telah ditabuh sejak 1 Januari 2010. Selamat datang di era perdagangan bebas ASEAN-China.
Pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mulai 1 Januari 2010 itu memang telah membuat berbagai kalangan bereaksi kaget dan mengeluarkan keluhan panjang tak terhingga.
Berbagai usulan pun diwacanakan mulai dari perundingan ulang beberapa pos tarif hingga mengalokasikan anggaran untuk membangun daya saing usaha.
Intinya, banyak pihak meminta agar kesepakatan dalam ACFTA
dirundingkan ulang dengan alasan dunia usaha Indonesia belum siap menanggung dampak negatif ACFTA yang dikhawatirkan akan menambah panjang daftar pengangguran di tanah air .
Padahal pelaksanaan ACFTA tidak seketika diterapkan. Perjalanannya sudah cukup lama. Dimulai pada akhir 1990-an melalui perundingan di berbagai tingkat jabatan di Pemerintahan kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004.
Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Nurdin Halid, menegaskan, mau tidak mau, siap tidak siap ACFTA telah diberlakukan.
"Kita harus siap, pola pikir dan perilaku harus mulai diubah, kita harus bisa bangkit melawan, berhadapan, dan mengambil kesempatan untuk bersaing dalam ACFTA," kata Nurdin.
Optimisme tersebut muncul lantaran Indonesia pada dasarnya memiliki satu pilar perekonomian yang acap kali terlupakan yakni koperasi.
Menurut dia, satu-satunya jalan keluar yang bisa dilakukan saat ini adalah kembali pada tata kelola dan sistem pembangunan ekonomi nasional yang menganut prinsip kekeluargaan dan berazas usaha bersama.
Gerakan apakah yang sanggup menaungi sebuah azas kebersamaan yang berprinsipkan kekeluargaan? Jawabannya hanya satu. Tidak lain dan tidak bukan adalah koperasi.
"Senjata" paling ampuh untuk mengantisipasi ACFTA hanyalah sebuah usaha bersama berdasar azas kekeluargaan.
Melalui koperasi , maka asosiasi orang-orang bergabung dan melakukan usaha bersama atas dasar prinsip-prinsip saling menguntungkan, sehingga mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan biaya yang rendah melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis oleh anggotanya.
"Koperasilah satu-satunya yang memenuhi syarat kebersamaan untuk membendung dampak buruk ACFTA," katanya.
Kembali ke Koperasi
Sampai saat ini, Nurdin Halid berpendapat, tata kelola dan sistem pembangunan ekonomi nasional belum sepenuhnya ditegakkan berdasarkan pasal 33 UUD 1945, ayat 1 yang mengamanatkan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan".
Pihaknya menyatakan siap untuk mengembalikan tata kelola sistem perekonomian Indonesia kepada prinsip dan azas tersebut.
Untuk itu, Nurdin Halid mengatakan, pembinaan UKM jangan dilakukan terpisah dengan koperasi.
"Dalam lima tahun terakhir ada kekeliruan dalam pembinaan UKM, yakni dilakukan terpisah dengan koperasi," kata Nurdin Halid.
Ia mengatakan, koperasi hendaknya menjadi wadah bagi pelaku UKM untuk melaksanakan kegiatan ekonominya.
Oleh karena itu, pembinaan harus diintegrasikan dalam satu kesatuan badan hukum yang bernama koperasi.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI),Teguh Boediyana, berpendapat bahwa koperasi dapat menjadi stimulan di era perdagangan bebas ASEAN-China karena kebersamaan menjadi kunci memenangkan persaingan dalam ACFTA.
Menjalankan roda perekonomian secara bersama-sama dapat menjadi senjata paling ampuh untuk meningkatkan daya saing khususnya dari sisi produktivitas dan kontinyuitas.
"Koperasi memiliki potensi yang besar untuk menjadi stimulan di era perdagangan bebas," kata Teguh.
Untuk kepentingan itu, maka UKM harus mulai berada dalam naungan koperasi dan memproduksi barang/jasa secara bersama-sama agar dapat memasok pasar secara kontinyu.
Apalagi rendahnya produktivitas menjadi salah satu faktor utama sulit bersaingnya produk UKM Indonesia dengan produk China atau perusahaan lain dari luar negeri dalam konteks ekonomi global.
UKM yang bernaung di bawah koperasi juga jauh lebih mudah dibina karena terkoordinasi dalam satu atap koperasi.
Mantan Menteri Koperasi dan UKM, Zarkasih Nur, berpendapat, pada dasarnya tidak sulit mengembalikan tata kelola ekonomi kepada koperasi.
"Hal ini tidak sulit karena pada dasarnya Koperasi dan UKM merupakan sektor usaha yang sudah tidak asing lagi dan digeluti oleh lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia," katanya.
Menurut Zarkasih, hanya diperlukan keberpihakan pada koperasi untuk mengembalikan tata kelola pembangunan ekonomi kepada prinsip kekeluargaan yang berazas usaha bersama.
Peluang ACFTA
Mau tidak mau, suka tidak suka, akibat percaturan perekonomian global, Indonesia akan terhempas pada sistem ekonomi berbasis pasar bebas.
Oleh karena itu, Menteri Koperasi dan UKM, Sjarifuddin Hasan, berpendapat masyarakat di tanah air harus mengambil peluang ACFTA dan tidak melulu melihatnya sebagai ancaman.
Menurut dia, ACFTA harus dijadikan peluang untuk meningkatkan ekspor bagi pelaku KUKM mengingat China merupakan negara dengan populasi sangat besar yakni mencapai 1,5 miliar jiwa.
"Ini harus dijadikan kesempatan KUKM untuk menembus pasar internasional," katanya.
Koperasi yang dalam wacana sistem ekonomi dunia, disebut juga sebagai "the third way" atau "jalan ketiga" dinilainya merupakan sarana untuk mewujudkan peluang dan kesempatan di era perdagangan bebas.
Menurut Menteri, melalui koperasi peningkatan daya saing SDM dan produk dapat lebih mudah dilaksanakan.
Keberhasilan itu telah dibuktikan di banyak negara lain, misalnya saja di negara sosialis seperti China, koperasi menjadi mitra atau "counterpart sector" negara, karena itu koperasi disebut juga sebagai sektor sosial yang merupakan wadah dari usaha individu dan usaha rumah tangga.
Di Amerika Serikat, 40 persen penduduknya adalah anggota koperasi dan 13 persen jasa layanan listrik di negara itu disediakan oleh koperasi.
Fakta lain, di Kenya koperasi menyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 45 persen dan di Selandia Baru menyumbang 22 persen dari PDB.
Selain itu , di Prancis beberapa bank koperasi mampu memperluas usahanya seperti Credit Mutuel, Banque Populaire, Credit Agricole menjadi bank-bank besar tingkat dunia. Bahkan di Swiss, koperasi konsumen Migros dan Suisse menguasai 90 persen perdagangan ritel disana.
Pentingnya posisi koperasi di banyak negara tidak perlu diragukan lagi. ICA (International Cooperative Alliance) sendiri telah melaporkan bahwa menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kurang lebih tiga miliar orang atau separuh dari penduduk dunia mendapatkan mata pencaharian dari perluasan usaha-usaha koperasi.
Rilis Bank Dunia pada 2006 juga menyebutkan koperasi melalui bisnis secara mutual mampu menghasilkan perputaran bisnis lebih dari 1.000 miliar dolar AS.
Ada suatu fenomena yang menarik bahwa 10 negara yang disebut sebagai pemilik Competitiveness Ranking Index 2006-2007 terbaik oleh World Economic Forum (WEF) adalah negara-negara di mana koperasinya mampu menunjukkan dirinya sebagai pemberi manfaat-manfaat besar bagi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat.
Seperti layaknya yang terjadi di Swiss, Finlandia, Swedia, Denmark, Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Ini fakta bahwa koperasi telah mampu membuktikan dirinya sebagai solusi untuk menyejahterakan rakyat.
Selain itu, perjalanan panjang koperasi di berbagai belahan dunia juga telah menunjukkan bahwa koperasi sebagai sistem ternyata cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat.
Inilah koperasi, gerakan yang menjanjikan jalan keluar alternatif bagi dampak buruk ACFTA. Mengapa masih mencari wacana lain? (*)
(T.H016/R009)
Oleh Oleh Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010