Cilacap (ANTARA News) - Pulau Nusakambangan di selatan Cilacap, Jawa Tengah, pernah membuktikan kepekerkasaannya menjadi benteng bagi kawasan itu saat bencana tsunami pada 17 Juli 2006.
Tapi apakah Nusakambangan akan tetap menjadi benteng jika bencana serupa kembali terjadi, sementara perusakan alam Nusakambangan terus berlangsung?
Koordinator Lapangan Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat mengatakan, pembalakan liar di kawasan hutan Nusakambangan kembali marak.
"Namun selama 2010 ini, kami belum berhasil menangkap para pelakunya lantaran operasi yang kami gelar sering kali bocor," kata Rahmat di Cilacap, Kamis (15/4).
Menurut dia, pembalakan liar marak terjadi di kawasan Nusakambangan Barat dan Nusakambangan Tengah.
Lahan di kawasan Nusakambangan Barat seluas 928 hektare dan Nusakambangan Timur seluas 227 hektare merupakan wilayah konservasi yang diawasi BKSDA Provinsi Jateng.
Sementara sisanya yang berada di Nusakambangan Tengah, bukan merupakan wilayah pengawasan BKSDA.
"Seharusnya wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung, tetapi hingga saat ini masih menjadi kawasan "abu-abu". Pemerintah Kabupaten Cilacap pernah mengajukan permohonan untuk menjadikan wilayah tersebut menjadi kawasan hutan lindung kepada Kementerian Kehutanan, tetapi sampai sekarang belum terealisasi," kata Rahmat.
Seperti diketahui, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengakui belum mengeluarkan surat keputusan penetapan hutan Nusakambangan di luar kawasan konservasi sebagai kawasan hutan lindung dan cagar alam meskipun lembaga pemasyarakatan di pulau ini menyatakan bahwa hutan Nusakambangan merupakan kawasan konservasi, hutan lindung, dan cagar alam.
Lebih lanjut mengenai pembalakan liar di Nusakambangan, Rahmat Hidayat mengatakan, hal itu banyak dilakukan oleh pendatang dari wilayah Jawa Barat.
"Kalau warga sekitar Pulau Nusakambangan, seperti Kecamatan Kampung Laut, sudah mulai menyadari. Mereka merasakan perusakan alam Nusakambangan telah mengakibatkan berkurangnya pasokan air bersih," katanya.
Menurut dia, selama ini warga Kecamatan Kampung Laut sangat mengandalkan pasokan air bersih dari Pulau Nusakambangan yang disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah mereka.
Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto menambahkan, BKSDA memperoleh informasi dari masyarakat jika oknum pegawai lapas yang sudah lama melegalkan pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Informasi yang kami terima, di daerah Karangrena ada dua oknum yang diduga terlibat, masing-masing berinisial N dan B, sedangkan di Karangsari ada seorang oknum. Akan tetapi kami belum mengetahui identitas oknum tersebut," kata dia yang bertugas di wilayah Nusakambangan Barat.
Menurut dia, BKSDA Wilayah Cilacap masih menyelidiki dugaan keterlibatan oknum tersebut untuk membuktikan kebenarannya.
Sementara mengenai pelaku pembalakan liar yang tertangkap, dia mengatakan, petugas gabungan dari BKSDA, Satuan Polisi Air Kepolisian Resor Cilacap, dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Cilacap sering kali mengalah karena harus berhadapan dengan massa.
"Kami pernah menangkap pelaku pembalakan liar tetapi keluarganya datang sambil menangis minta pelaku dibebaskan. Bahkan warga satu kampung juga mendatangi kami sehingga terpaksa pelaku pembalakan liar ini kami lepaskan," katanya.
Dia mengakui pengawasan terhadap hutan di kawasan Nusakambangan Barat menghadapi sejumlah kendala, antara lain lokasinya yang cukup jauh dan keterbatasan jumlah personel.
Ia mengatakan, jumlah personel BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang yang ditempatkan di Cilacap hanya 14 orang, tiga di antaranya bertugas Pulau Nusakambangan.
"Kami sangat kerepotan dengan jumlah personel tiga orang karena luas Pulau Nusakambangan mencapai 11.510 hektare," kata Teguh.
Terkait dugaan keterlibatan oknum pegawai lapas dalam kegiatan pembalakan liar di hutan Nusakambangan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Tengah Chairuddin Idrus mengatakan, pihaknya akan menindak tegas jika ada oknum pegawai lapas yang terlibat dalam pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Kalau ternyata oknum-oknum itu melakukan pembalakan, tidak ada ampun lagi. Kalau wartawan tahu, laporkan ke saya, nama siapa, dari lapas mana, nanti akan diproses," tegasnya.
Dia mengaku pernah mendapat laporan adanya sejumlah oknum pegawai lapas yang diduga terlibat dalam pembalakan liar di Nusakambangan.
Menurut dia, hal itu telah ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan bagi oknum-oknum tersebut.
"Kami juga akan memberikan somasi bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Pulau Nusakambangan untuk segera meninggalkan kawasan konservasi tersebut. Jika ada yang sudah terlanjur bercocok tanam, misalnya tanaman padi, kami beri kesempatan hingga masa panen," katanya.
Terkait adanya pembukaan lahan untuk penanaman pohon sengon, dia mengatakan, pihaknya saat ini sedang menginventarisasinya dan lahan tersebut nantinya akan ditanami dengan tanaman asli Nusakambangan.
Menurut dia, Kemenkumham menghendaki adanya pelestarian hutan di Pulau Nusakambangan yang ditandai dalam bentuk kerja sama dengan Kementerian Kehutanan beberapa waktu lalu.
Dalam hal ini, kata dia, Kementerian Kehutanan telah menyatakan siap memasok kebutuhan bibit pohon, khususnya pohon jati unggul nusantara untuk ditanam di Nusakambangan.
"Kami juga telah membentuk Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban yang bertugas di luar lapas. Mereka akan memantau dan menertibkan pendatang liar di Nusakambangan, termasuk mengantisipasi terjadinya pembalakan liar," katanya.
Penambangan Kapur
Selain disebabkan pembalakan liar, aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant di Pulau Nusakambangan diduga turut menjadi penyebab kerusakan hutan di pulau ini.
"Kerusakan hutan di Pulau Nusakambangan juga disebabkan aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia," kata Koordinator Lapangan Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat.
Ia mengatakan, banyak kawasan hutan di Nusakambangan yang telah dibuka sebagai areal penambangan oleh Holcim tetapi hingga sekarang belum direklamasi.
Kendati demikian, dia mengakui sebagian lahan tersebut telah direklamasi oleh Holcim. "Namun masih banyak juga lahan yang belum direklamasi," katanya.
Akan tetapi, kata dia, BKSDA kesulitan untuk memantau kerusakan alam akibat aktivitas penambangan tersebut karena berada di luar kawasan konservasi yang menjadi wilayah pengawasannya.
"Jika wilayah tersebut sudah menjadi kawasan hutan lindung, kami akan lebih mudah melakukan pengawasan dan menjalankan amanat undang-undang," katanya.
Terkait penambangan tersebut, Rahmat mengatakan, ada hutan di sebuah bukit di Nusakambangan yang telah dibuka Holcim beberapa tahun lalu tetapi tidak jadi untuk areal tambang dan hingga sekarang belum direklamasi.
"Konon setelah diteliti, kandungan tanahnya tidak memenuhi kriteria bahan baku semen sehingga lahan tersebut tidak jadi ditambang, tetapi hingga sekarang belum direklamasi," katanya.
Ia mengakui sikap kritis yang ditunjukkan para personel BKSDA Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap terhadap kondisi alam Nusakambangan, menyebabkan lembaga ini seolah "tidak ada" di mata Holcim.
Sebelum memulai aktivitas reklamasi, kata dia, Holcim pernah berkonsultasi dengan BKSDA tetapi saat pelaksanaannya sama sekali tidak mengundang BKSDA.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga menduga adanya pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan Holcim di Nusakambangan sehingga setiap kali ada yang mengritisi, selalu ada pihak yang meng-membela.
Ia menilai Pemerintah Kabupaten Cilacap seolah lepas tangan terhadap kerusakan hutan Nusakambangan oleh Holcim.
"Salah satu polisi hutan senior kami yang sangat kritis terhadap Nusakambangan, pernah diundang ke sebuah hotel di Purwokerto. Polisi hutan tersebut sempat berusaha `disumpal` untuk tidak terlalu kritis, tetapi dia menolaknya karena sangat peduli terhadap Nusakambangan," kata Rahmat.
Sementara itu, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto mengatakan, aktivitas penambangan yang dilakukan Holcim di Nusakambangan sudah termasuk merusak bentang alam.
"Dalam hal ini, Holcim meratakan bukit dan menggali dataran rendah untuk diambil bahan tambangnya," katanya.
Selain itu, kata dia, pengambilan bahan tambang menggunakan bahan peledak juga dapat merusak kondisi alam sekitar.
Kurang tegasnya sikap Pemkab Cilacap terhadap Pulau Nusakambangan ini ditujukan oleh sebuah pemberitaan di media online Bagian Humas Sekretariat Daerah Cilacap pada 31 Maret 2010.
Pemberitaan yang dirilis oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap Sunarno menyebutkan, kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan yang berakibat beralihnya fungsi Pulau Nusakambangan dianggap berlebihan.
Dalam hal ini, menurut dia, luas area tambang batu kapur hanya tiga persen dari luas Pulau Nusakambangan, selain itu PT Holcim Indonesia melaksanakan reklamasi dan revegetasi/penghijauan terhadap lahan bekas tambang sebagai upaya kelestarian lingkungan hidup.
Pernyataan tersebut disampaikan Sunarno setelah Wakil Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji bersama sejumlah pejabat kabupaten ini memantau kondisi Pulau Nusakambangan dari udara menggunakan helikopter pertengahan Maret lalu.
Demikian pula yang disampaikan Quarry Manager PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant, Yani Mutiara kepada wartawan saat kegiatan "press tour" ke lokasi penambangan batu kapur di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Kamis (25/3).
Menurut dia, PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant hingga 2009 telah mereklamasi lahan bekas tambang kapur di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, seluas 17,76 hektare dengan jumlah pohon 6.670 batang.
"Sementara luas area tambang hingga 2009 mencapai 112,45 hektare," katanya.
Ia mengatakan, luas area penambangan batu kapur Nusakambangan sesuai Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) yang dimiliki Holcim hanya 1.000 hektare atau kurang dari 10 persen luas seluruh pulau yang mencapai 11.510 hektare.
Menurut dia, luas area yang mengandung batu kapur hanya 400 hektare dan batas akhir penambangan yang diizinkan hanya 10 meter di atas permukaan laut.
Terkait area tambang seluas 112,45 hektare tersebut, dia mengatakan, luasan tersebut terbagi tambang aktif seluas 56,88 hektare, area penghijauan (17,76 ha), "settling pond" atau kolam penyelesaian (2,20 ha), "soil disposal" atau tanah buangan (4,96 ha), emplasemen (10,80 ha), area yang belum ditambang (11,05 ha), dan lahan tidak berbatu kapur (8,80 ha).
"Kami perkirakan luas tambang aktif tahun 2063 mencapai 60 hektare atau 0,52 persen luas Pulau Nusakambangan dengan rencana revegetasi atau reklamasi hingga tahun tersebut seluas 290 hektare. Dengan demikian, akumulasi area pemanfaatan SIPD sampai tahun 2063 seluas 350 hektare," katanya.
Terkait upaya reklamasi atau revegetasi yang dilakukan, dia mengatakan, PT Holcim Indonesia menyediakan lahan pembibitan tanaman khas Nusakambangan.
Menurut dia, bibit-bibit tanaman tersebut berasal dari hutan Nusakambangan, antara lain wuni, laban, sindungan, dan bayur.
"Kalau tidak dapat diperoleh dari hutan, kami mendatangkannya dari luar Nusakambangan. Kami juga telah menyusun rencana revegetasi lima tahunan area tambang, yakni periode 2009-2013," katanya.
Ia mengatakan, revegetasi tahun 2009 telah dilakukan pada lahan seluas dua hektare pada "quarry" (area tambang) V, VIII B, dan IX, sedangkan tahun 2010 direncanakan seluas lima hektare, 2011 (5 ha), 2012 (6 ha), dan 2013 (3 ha).
Dalam pelaksanaan revegetasi, kata dia, hal itu dilakukan dengan bantuan teknis dari Pemerintah Kabupaten Cilacap berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 660.1/116/29/2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Tim Teknis Revegetasi.
"Bahkan, kami juga membayar jaminan reklamasi berdasarkan keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap. Dalam hal ini, Pemkab Cilacap akan mereklamasi lahan menggunakan dana jaminan tersebut jika kami tidak melakukan reklamasi," kata Yani.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengatakan kawasan hutan lindung, konservasi, dan cagar alam tidak dibenarkan untuk dijadikan areal tambang.
Menurut dia, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Terkait aktivitas penambangan batu kapur oleh Holcim di Nusakambangan yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2063, dia mengaku sangat terkejut.
"Wah, habis nanti Pulau Nusakambangan. Saya kira harus ada tindakan tegas dan evaluasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena pulau ini kewenangannya," kata Zulkifli.(KR-SMT/T010)
Oleh Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
Binatang,pohon,sungai,lautan semuanya rusak
sebentar lagi penduduknya pun akan punah dan hilang dengan sensirinya,sbab penyakit,kelaparan,kemiskinan merajalela.
tinggal tunggu waktunya.
kalau masyarakatnya nggak mulai sadar saat ini mau kapan lagi,udah hampir Time limit.