Kegiatan diplomasi militer yang melibatkan matra darat, angkasa dan samudera (Darsasa) atau angkatan darat (AD), angkatan Udara (AU) dan Angkatan Laut (AL) kedua negara itu digelar di Selat Malaka untuk melakukan latihan penanggulangan antiteror pada 30 Maret hingga 10 April 2010.
Latihan militer, apalagi dalam konteks antisipasi teroris, menunjukkan kesiapan TNI dalam menghadapi ancaman bahaya teroris yang bisa muncul kapan saja, di mana saja dan dalam bentuk apa saja yang umumnya tidak bisa kita duga sebelumnya. Hal yang dapat dipastikan adalah aksi teroris terjadi secara mendadak dan umumnya mampu meninggalkan dampak ketakutan dan kengerian serta bersimbah darah korban.
Oleh karena Latgab Darsasa 7/2010 melibatkan Indonesia dan Malaysia, maka skala hal ini mencerminkan juga bukan hanya kesiapan personel Latgab, tetapi juga membiasakan mereka yang terlibat dalam penanggulangan atau antisipasi teroris dari dua negara yang bertetangga di Asia Tenggara ini untuk memacu operasi dan kerjasama militer.
Selat Malaka selama ini merupakan perairan internasional yang oleh Indonesia dan Malaysia perlu diamankan dan bebas dari ancaman bahaya teroris, mengingat arti pentingnya perairan ini dalam jalur atau lintas perairan strategis bagi kepentingan perhubungan laut regional dan perdagangan internasional.
Latgab semacam itu juga pernah dilakukan oleh TNI AL bersama dengan Angkatan Laut Singapura beberapa waktu lalu, dan berskala maupun skenario yang berbeda juga di Selat Malaka, tetapi dalam konteks yang sama untuk penanggulangan bersama menghadapi ancaman bahaya teroris.
Esensi yang lain dari Latgab Darsasa 7 Indonesia-Malaysia sekaligus juga merupakan unjuk kekuatan dan persenjataan pihak militer Indonesia dan Malaysia dalam menghadapi ancaman bahaya teroris di kedua negara dan khususnya di Selat Malaka.
Pada situasi damai, Latgab itu bagi TNI dan Tentara Diraja Malaysia (TDM) merupakan unjuk kemampuan profesional militer dalam medan “perang-perangan” yang sesungguhnya yang mengoperasikan penggunaan strategi dan kekuatan persenjataan, serta mobilisasi personel dalam menghadapi ancaman bahaya teroris.
Dengan adanya Latgab Darsasa 7/2010, maka Indonesia paling tidak telah menunjukkan kepada negara tetangga dan dunia bahwa secara eksternal mampu mengantisipasi ancaman serangan dan bahaya teroris, selain secara internal juga telah melakukan Latgab TNI-Polri untuk mengantisipasi terhadap ancaman dan serangan teroris di dalam negeri Indonesia sendiri.
Serangkaian Latgab ini bukanlah suatu hal yang berlebihan dan dapat dipahami jika beberapa kegiatan diantaranya dilakukan bersamaan dengan momentum kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) di Indonesia. Beberapa Latgab tersebut termasuk Darsasa 7 jika dikaitkan dengan ancaman atau bahaya serangan teroris, maka mengekspresikan betapa serius dan prihatinnya Indonesia dan Malaysia dalam menghadapi masalah terorisme yang semakin hari semakin mengkhawatirkan dan mencemaskan rakyat di kedua negara dalam beberapa waktu terakhir ini.
Abdullah Badawi saat menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia pada bulan Maret 2003 memberikan semacam early warning (peringatan dini) berdasarkan kajian khusus bahwa teater laga bagi aksi-aksi terorisme dan tindak kekerasan yang sering terjadi dan berpusat di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah akan bergeser ke kawasan Asia Tenggara. Badawi, yang kini digantikan Nadjib Tun Razak, kala itu mewanti-wanti pergeseran teater laga aksi terorisme sebagai ancaman serius yang bukan hanya perlu disikapi, tetapi juga diantisipasi, dicegah dan diperangi.
Kemudian, maraknya aksi pemboman sepanjang 2000-an an dan terus berlanjut pada Bom Bali, Bom Malam Natal, Bom Kedubes Australia dan Bom Hotel Marriot dan Ritz Carlton, serta penangkapan gembong teroris baik di luar Indonesia maupun di Indonesia sendiri merupakan bukti nyata dari apa yang menjadi peringatan Badawi.
Hal itu membuktikan bahwa ancaman terorisme sejak 5 Februari 1997, ketika Komisi Intelijen Senat AS melakukan semacam uji layak dan kepatutan (fit and proper test) untuk meloloskan George Tennet sebagai calon Direktur Central Intelligence Agency (CIA), antara lain menegaskan bahwa salah satu masalah transnasional yang teramat penting dan merupakan ancaman untuk jangka waktu 20 tahun ke depan bagi dunia dan AS adalah masalah yang terkait dengan terorisme, penghapusan senjata nuklir, penyelundupan narkoba internasional dan kejahatan internasional yang terorganisir. Hal ini dicatat oleh James Adams pada 1998.
Hal yang dapat dicatat adalah penyelenggaraan Latgab antisipasi terhadap ancaman bahaya dan serangan teroris dalam konteks dalam negeri sendiri atau melibatkan kekuatan militer dan polisi luar negeri menggambarkan kesiagaan dan adanya kemampuan untuk mengantisipasi ancaman bahaya dan serangan teroris sesuai skenario dan kepentingan nasional Indonesia.
Namun, semua pihak dalam kaitan yang lebih luas nampaknya harus menyadari bahwa datangnya ancaman bahaya dan serangan selalu tidak dapat diduga dan diprediksi sebelumnya, karena bahaya dan serangan teroris biasanya muncul tiba-tiba dan tidak terduga serta langsung menimbulkan korban.
Oleh karena itu, aparat keamanan harus melakukan pemantauan atau deteksi dari berbagai aksi, gerakkan dan anomali sosial yang ditengarai berkarakter atau hal-hal yang bisa mengarah pada munculnya unsur tindakan teroris seperti tindak kekerasan, pemaksaan, penyanderaan, ancaman, aksi tindakan yang menakutkan atau mengerikan, dan mungkin juga pemerasan, seberapa kecil dan sederhana modusnya harus senantiasa dicermati dan diantisipasi secara komprehensif dan intensif.
Dalam Latgab Darsasa 7/2010 seperti biasanya melibatkan liputan media massa dan wartawan guna diberi kesempatan untuk melihat pembukaan, penurupan, bahkan tidak jarang sejumlah proses Latgab secara resmi. Pelibatan media massa dan wartawan dalam Latgab itu termasuk dalam bingkai program hubungan masyarakat atau penerangan, baik dari pihak TNI maupun TDM.
Pada Latgab dan sekaligus patroli bersama TNI AL dan Angkatan Laut Singapura yang diadakan sekira 2002-2003, Dinas Penerangan TNI AL (Dispenal) ketika itu mengundang media massa dan wartawan untuk secara langsung mengikuti jalannya patroli bersama tersebut. Kala itu TNI AL dan Angkatan Laut Singapura menerapkan skenario penangkalan aksi anti-teroris untuk tindakan pembebasan sebuah kapal penumpang yang dirompak oleh kelompok teroris.
Belasan wartawan dari media massa Indonesia dan Singapura yang meliput jalannya patroli bersama itu diperkenankan meliput dari sebuah kapal perang Indonesia (KRI) yang khusus disediakan untuk peliputan. Setekah keberhasilan peliputan patroli bersama tersebut yang video-klip-nya sampai sekarang masih sering ditayangkan oleh sebuah stasiun TV swasta di Jakarta sekira 20 detik untuk menggambarkan adanya serangaan dan penyanderaan oleh teroris di Selat Malaka. Hal itu memperlihatkan bahwa Dispenal melibatkan fungsi dan peran komunikasi yang bukan sekedar peliputan dalam sebuah Latgab bersama TNI AL dan AL Singapura yang akan dilakukan di masa yang akan datang.
Beberapa tahun kemudian, sekira 2006 gagasan dan keberhasilan Dispenal memodifikasi dan memelopori dilibatkannya media massa dan terlibatnya unsur komunikasi sebagai kekuatan militer dalam sebuah operasi dan latihan militer juga direncanakan pihak Dinas Penerangan TNI AD (Dispenad).
Skenario dan konsep dilibatkannya media massa dan terlibatnya fungsi dan peran komunikasi sebagai perangkat kekuatan militer untuk diterapkan dalam Latgab dan operasi militer tertentu oleh Dispen TNI AD juga telah siap untuk dimasukkan sebagai terobosan baru yang memaksimalkan tugas, peran dan fungsi (tupoksi) maupun peran komunikasi dalam suatu operasi militer atau situasi perang tertentu melampaui fungsi dan peran arus utama (mainstream) komunikasi media massa dalam suatu operasi atau latihan militer.
Masuknya unsur fungsi dan peran komunikasi sebagai perangkat/kekuatan/sistem militer dalam suatu operasi militer atau perang bukanlah hal yang baru. Collin Powell ketika menjabat Kepala Gabungan Para Kepala Staf (Kastaf) Angkatan Bersenjata AS adalah jenderal yang menerapkan dan memelopori bagaimana sistem komunikasi (media massa) digunakan sebagai suatu sistem penting atau sebagai kekuatan militer secara maksimal dalam suatu operasi militer.
Sementara itu, para perwira siswa Pendidikan Reguler (Dikreg) XXXIX dan Sekolah Staf Fungsional (Sesfung) VI Sesko TNI AL TP 2001/2002 yang berjumlah 118 orang termasuk para perwira menengah siswa dari negeri Tiongkok, Malaysia dan Australia pada saat itu sudah mempelajari materi kuliah tentang komunikasi sebagai substansi atau sistem dan kekuatan militer penting dan menentukan dalam suatu operasi militer atau perang.
Permasalahannya adalah apakah dalam Latgab Darsasa 7/2010 Indonesia-Malaysia di Selat Malaka unsur fungsi dan perang komunikasi sebagai suatu sistem atau kekuatan militer penting dan strategis juga telah dimasukkan dalam skenario Latgab ini apalagi dikaitkan dengan ancaman bahaya dan serangan teroris. Tentunya para Direktur Operasi Latgab Darsasa 7/2010 sebagai pihak yang paling tahu apakah konsepsi ini. (*)
*) Petrus Suryadi Sutrisno (elkainf@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Konsultan/Pengajar Senior Ilmu Komunikasi.
Oleh Oleh Suryadi Sutrisno *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010