Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mengkhawatirkan munculnya gerakan radikalisme keagamaan pelajar di sekolah-sekolah negeri melalui Organisasi Intra Siswa Sekolah (OSIS) yang bernama Rokhani Islam (Rokhis).

Ketua Umum IPNU Ahmad Syauqi mengemukakan hal itu dalam Rakernas dan peringatan Hari Lahir ke-58 IPNU bertajuk "Optimalisasi Peran IPNU Terhadap Arah Kebijakan Pendidikan Nasional" di Kampus UI Depok, Jakarta, Sabtu.

IPNU juga khawatir gerakan ideologi keagamaan itu menumbuhkan radikalisme keagamaan di kalangan pelajar, karena itu IPNU akan mendesak Kemdiknas agar Rokhis tidak dijadikan satu-satunya organisasi keagamaan di sekolah negeri setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU).

"Kami akan mengusulkan pada Muktamar NU di Makassar pada 22-27 Maret mendatang agar NU mendesak Mendiknas untuk mengubah atau menghapus Rokhis yang selama ini dijadikan satu-satunya organisasi keagamaan di sekolah negeri itu," katanya.

IPNU sebagai kader NU akan mengawal gerakan keislaman yang moderat dan bukan radikal atau liberal baik secara pemikiran, aksi maupun ideologi yang meresahkan masyarakat.

IPNU menilai Muktamar ke-32 NU merupakan momentum penting bagi perlunya penyatuan persepsi dalam Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU), baik badan otonom (Banom), lembaga maupun organisasi taktis lainnya untuk menyelamatkan generasi muda dan NU di masa mendatang.

IPNU, kata Syauqi, selama ini sudah melakukan sinergi dengan dengan beberapa Banom NU, seperti Lembaga Pendidikan Ma`arif dan Rabithah Ma`ahid Islamiyah terkait pentingnya pendirian komisariat di sekolah dan pesantren NU serta sinergi antara IPNU-Lakspesdam untuk standarisasi kurikulum NU.

Pelarangan ormas pelajar selain Rokhis tersebut, menurut Syauqi, sudah terjadi sejak dikeluarkan keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud tanggal 9 Juni tahun 1980 No. 091/C/Kep/080 tentang Pola Pengembangan Siswa ditambah dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.0209/4/1984 tentang Perbaikan Kurikulum di sekolah umum tingkat atas.

Akibatnya, kebijakan itu menimbulkan fenomena radikalisme agama di sekolah (SMU), yang menekankan pada satu wadah organisasi bernama Rokhis yang berada di bawah OSIS.

Bahkan, kata Syauqi, berdasarkan penelitian, radikalisme itu menjadi basis bagi gerakan Islam radikal di Indonesia. Rokhis menjadi wadah bagi awal munculnya gerakan revivalisme Islam di sekolah-sekolah.

"Revivalisme itu hadir seiring dengan munculnya sikap dan pandangan yang menyatakan gagalnya negara dalam mengatur sistem ekonomi, politik, dan sosial sehingga Islam dianggap sebagai satu-satunya alternatif ideologi yang ada," katanya.

Oleh karena itu, jika pada awalnya Rokhis sebagai kegiatan kultural dan seremonial guna membantu penyelenggaraan hari-hari besar Islam di sekolah, tapi perkembangannya sejak tahun 1990-an secara bertahap bertransformasi menjadi organisasi keagamaan siswa yang cenderung ideologis, baik dalam pemikiran maupun gerakan.

Kuatnya ideologisasi itu bisa dilihat dari pandangan dan sikap aktivisnya yang cenderung eksklusif, menempatkan pluralisme sebagai paham yang wajib dijauhi. Kecenderungan itu terus menguat sejalan dengan masuknya gerakan tarbiyah ke dalam sekolah-sekolah.

Karena itu, menurut Syauqi, IPNU menegaskan perlunya meninjau ulang kebijakan Mendiknas untuk menata ulang organisasi keagamaan di sekolah-sekolah, agar tidak terjadi kaderisasi radikalisme di kalangan anak-anak sekolah.

Sementara itu, Ketua Majelis Alumni IPNU Hilmi Muhammadiyah menegaskan bahwa IPNU merupakan satu-satunya rekruitmen kader NU dan kini harus membuat program strategis sesuai visi dan misi NU.

"Pengenalan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) itu mesti dilakukan sejak di sekolah. Karena itu, Muktamar NU di Makassar semestinya memberikan tempat terhadap aspirasi IPNU untuk mengubah kebijakan agar Rokhis tidak dijadikan satu-satunya wadah oganisasi keagamaan di bawah OSIS," katanya.

Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) itu juga menyetujui bila Muktamar NU membahas kemungkinan IPNU menjadi organisasi ekstrakuler pada sekolah-sekolah di lingkungan LP Ma`arif dan bukan lagi OSIS.(S023/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010