Jakarta (ANTARA News) - Survei Pekerja Anak (SPA) dari Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Organisasi Perburuhaan Internasional (ILO) menemukan dari 58,8 juta anak Indonesia pada 2009, 1,7 juta jiwa diantaranya menjadi pekerja anak.
"Jumlah anak yang bekerja atau working children itu sebesar 4,1 juta di mana yang merefer (mengacu) ke pekerja anak atau child labor sebesar 1,7 juta jiwa," kata Koordinator Tim Badan Pusat Statistik SPA Uzair Suhaimi dalam seminar hasil SPA di Jakarta, Kamis.
Definisi anak dalam survei ini adalah 5-17 tahun atau berbeda dengan definisi Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakrenas) yang hanya melihat anak 15-17 tahun. "Dan ini merupakan yang pertama," katanya.
Pekerja anak adalah bagian dari anak yang bekerja (working children) yang tidak sesuai dengan aturan ketenagakerjaan dan konvensi ILO.
Ada tiga kategori definisi pekerja anak. Pertama, sesuai perundangan, umur minimum bekerja 13 tahun, sehingga anak yang bekerja di bawah 13 tahun adalah pekerja anak.
Kedua, sesuai ketentuan anak umur 13-14 tahun diperbolehkan bekerja dengan jam kerja tiga jam sehari atau 15 jam seminggu. Mereka yang bekerja di atas itu adalah pekerja anak. Ketiga, mereka yang berusia lebih 15-17 tahun dengan jam kerja 40 jam seminggu.
Survei menemukan, setidaknya 674 ribu anak di bawah 13 tahun berstatus bekerja, sekitar 321 ribu anak umur 13-14 tahun bekerja lebih dari 15 jam per minggu, dan sekitar 760 ribu jiwa anak umur 15-17tahun bekerja di atas 40 jam per hari.
Ahli Statistik Senior ILO untuk Program Penghapusan Pekerja Anak Internasional (IPEC) Bijoy Raychaudhuri mengatakan, hasisl survei menjadi informasi yang baik bagi pengambil kebijakan dalam merancang program penghapusan pekerja anak.
Menurut Kepala Nasional Konsultan Teknis ILO untuk IPEC, hasil survei pertama kali mengenai pekerja anak di Indonesia saat ini dijalankan dengan baik oleh BPS.
"Kita bahkan tidak hanya tahu anak yang bekerja tapi juga para pekerja anak, tidak semua negara mau melakukan ini, misal Kamboja yang hanya mau mensurvei anak yang bekerja saja," katanya.
Menurutnya, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi ILO, maka survei ini sangat diperlukan untuk merancang desain kebijakan dalam penghapusan pekerja anak.
Ia menjelaskan, Indonesia telah meratifikasi dua konvensi utama pekerja anak, yaitu konvensi ILO no 138/1979 tentang usia minimum untuk bekerja yang diratifikasi pada 1999.
Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa minimum anak untuk bekerja sesuai dengan usia wajib belajar.
Kedua, konvensi no 182/2000 pelarangan dan penghapusan dengan segera bentuk-bentuk terburuk pekerja anak. Dalam konvensi ini, ILO menetapkan penghapusan pekerja anak dari bentuk-bentuk terburuk, seperti prostitusi, perdagangan anak dan perbudakan, perdaganagn obat bius. (*)
M041/AR09
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010