Magelang (ANTARA News) - Sejumlah seniman Kabupaten Magelang, Jateng, membuat patung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam rangka memperingati 40 hari meninggalnya Presiden keempat RI tersebut.
Kegiatan para seniman itu berlangsung di Stodio Mendut, Magelang, Jumat, dengan membuat empat patung Gus Dur berbahan batu, yaitu "Sinar Hati Gus Dur" karya Cipto Purnomo, "Gunung Gus Dur" karya Ismanto, "Presiden di Sarang Penyamun" karya Samsudin, dan "Gladiator Gus Dur" karya Jono.
Selain patung, seniman Mami Kato membuat lukisan dengan judul "Gus Dur dan Gembiraloka".
Hadir dalam acara tersebut, antara lain pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, KH Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), Romo Kirjito, dan mantan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto.
Keempat patung tersebut dibuat dengan berbagai model yang menggambarkan Gus Dur sebagai tokoh pluralisme, misalnya patung karya Ismanto, badan Gus Dur dikerumuni sejumlah satwa dan karya Cipto Purnomo, Gus Dur dengan tubuh Buddha.
Pemilik Stodio Mendut, Sutanto mengatakan, pembuatan patung Gus Dur dengan berbagai model tersebut untuk menjelaskan seorang Gus Dur sebagai tokoh yang multietnis, multikultur, dan sebagainya.
"Mudah-mudahan, masyarakat mampu menangkap karya seniman ini. Gus Dur merupakan seorang yang cerdas dan artistik, namun hidup di bangsa yang penuh kontroversi," katanya.
Ia mengatakan, aksi-aksi Gus Dur sebagai pesona yang kaya warna, hadir pada gelanggang kehidupan yang luas (agama, budaya, sosial, dan politik) tentu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, termasuk para perupa.
"Melalui pengalaman masing-masing, baik langsung bersinggungan atau tidak, perupa merupakan bagian yang tidak mungkin terpisahkan dari persoalan penegakan bangunan pluralisme," katanya.
Gus Yusuf mengatakan, berbagai cara telah dilakukan masyarakat untuk tetap menghidupkan nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur, antara lain pluralisme, humanis, dan kebangsaan.
"Untuk menghidupkan nilai-nilai tersebut caranya tidak sama dan sekarang para seniman melalui karya seni rupa," katanya.
Ia mengatakan, Gus Dur tidak hanya milik satu kelompok, tetapi milik bangsa Indonesia. (H018/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010