Situbondo (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Situbondo, Jatim, Selasa, melakukan interogasi kepada pengikut "Brayat Agung" yang diduga sebagai aliran sesat.
"Kami sudah turun ke lokasi mereka di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo, tapi pemimpin mereka sudah kabur," kata Ketua MUI Situbondo KH R Abdullah Faqih Ghufron.
Ia mengemukakan hal itu ketika dikonfirmasi ANTARA tentang ajaran "Brayat Agung" yang diduga sebagai aliran sesat dengan pengikut berkisar 20-30 orang di desa itu.
Menurut dia, pihaknya sebenarnya sudah lama memantau ajaran itu, namun pihaknya memilih langkah pembinaan secara persuasif.
"Masalahnya, masyarakat telanjur resah, sehingga masyarakat pun melapor kemana-mana, padahal kami masih ingin berdebat dengan pemimpin mereka dari Bondowoso," katanya.
Ia menyatakan perdebatan merupakan cara yang mungkin dapat menyadarkan mereka, sebab mereka bukan aliran sesat tapi mereka menerapkan ajaran Islam yang tidak benar.
"Mereka bukan sesat, karena mereka tetap mengakui Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, tapi mereka merasa cukup shalat dengan semedi atau sekadar eling (ingat). Jadi, mereka mirip dengan Islam Kejawen, bukan aliran sesat," katanya.
Terhadap Nabi Muhammad SAW, katanya, penganut ajaran Islam yang tidak benar itu memahami ajaran nabi seenaknya sendiri, seperti "buroq" dalam Isra Mikraj diartikan "buka rok."
"Tapi, masyarakat mengartikan hal itu sebagai aliran sesat, padahal hanya ajaran Islam yang sesat saja, sebab mereka tetap beriman kepada Allah dan Muhammad tapi caranya yang tidak benar atau sesat," katanya.
Menanggapi hal itu, Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Bukhori mengaku pihaknya belum menerima laporan secara resmi dari MUI Situbondo, namun pihaknya meminta agar hal itu diselesaikan di tingkat daerah.
"Kalau mereka tidak percaya kepada rukun iman berarti mereka sesat, tapi kalau mereka melarang santrinya shalat dan membaca Al Quran berarti mereka menodai agama," katanya.
Oleh karena itu, katanya, pemimpin ajaran itu dapat dijerat dengan pasal 156 KUHP tentang penodaan agama yang menjatuhkan sanksi kepada pelaku dengan lima tahun penjara.
"Di Mojokerto ada ajaran Ilmu Kalam Santriloka yang pemimpinnya langsung dihukum, tapi saya kira kita sebagai pemimpin juga perlu instrospeksi, sebab ada kemungkinan dakwah Islam kurang intensif kepada masyarakat di tingkat bawah," katanya.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010