Jakarta (ANTARA News) - Wacana pembatasan dan pelarangan liputan siaran langsung dalam sidang pengadilan ternyata mendapat tantangan yang cukup keras dari sejumlah kalangan antara lain para aktivis masyarakat sipil.

Usulan terkait larangan siaran langsung itu mulai merebak ketika Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Senjaja di Gedung DPR di Jakarta, Rabu (11/11) mengatakan, pihaknya akan menata ulang liputan langsung stasiun televisi dari ruang sidang pengadilan.

KPI merupakan lembaga independen yang memiliki fungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. KPI dibentuk berdasarkan UU Penyiaran Nomor 32/2002.

Sasa mengatakan, penataan ulang itu karena liputan langsung stasiun televisi dari ruang sidang pengadilan dinilai KPI akan menimbulkan ekses yang bisa membahayakan banyak pihak.

Menurut dia, liputan langsung stasiun televisi hanya boleh menyiarkan wawancara dengan majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan kuasa hukum, pada saat menjelang dan seusai jalannya sidang.

"Stasiun televisi tidak boleh melakukan liputan langsung proses jalannya persidangan karena itu bisa mempengaruhi opini publik sebelum ada vonis dari majelis hakim," kata Sasa.

Ia memaparkan, penataan ulang liputan langsung tersebut diputuskan KPI berdasarkan perkembangan terbaru, terutama jalannya persidangan dari kasus-kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas, seperti kasus Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kemudian sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperdengarkan rekaman hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sontak, wacana terkait pembatasan siaran langsung pengadilan mendapat respon dari sejumlah pihak, antara lain Koordinator Divisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Anggara.

Anggara memaparkan, pembatasan siaran langsung persidangan seharusnya mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik dan bukannya ketentuan yang dikeluarkan oleh KPI.

"Batasannya seharusnya adalah Kode Etik Jurnalistik," kata Anggara kepada ANTARA News.

Menurut dia, Kode Etik Jurnalistik sebenarnya telah memadai sehingga KPI seharusnya tidak lagi berupaya untuk mengeluarkan batasan-batasan terhadap siaran langsung persidangan.

Apalagi, lanjutnya, Kode Etik Jurnalistik berlaku bagi segala macam pekerjaan wartawan mulai dari media cetak seperti surat kabar hingga media elektronik seperti televisi.

Ia menegaskan, wewenang untuk melarang siaran langsung pengadilan terletak pada hakim pengadilan yang merupakan pemimpin dari persidangan tersebut.

Dakwaan vulgar
Wacana larangan siaran langsung persidangan muncul antara lain setelah pembacaan dakwaan yang vulgar dalam kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang menjerat mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resources Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing mengatakan, pembacaan dakwaan vulgar itu sebenarnya hanyalah merupakan satu kasus.

"Jangan satu kasus ini sampai digeneralisasi dengan kasus-kasus lainnya," kata Uli.

Ia mengingatkan, siaran langsung persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata bermanfaat membuat masyarakat luas mengetahui secara cepat dan langsung mengenai rekaman rekayasa yang sebelumnya masih sebatas isu atau tidak jelas keberadaannya.

Karenanya, Uli berpendapat, terdapatnya siaran langsung dalam acara persidangan MK mengindikasikan adanya kemajuan dalam alam demokrasi di Indonesia.

"Siaran langsung persidangan bagus untuk alam demokrasi," katanya.

Menurut alumni Fakultas Hukum Universitas Jendral Sudirman Purwakarta itu, bila terdapat pelarangan terhadap siaran langsung persidangan maka hal itu sama saja dengan langkah kemunduran.

Dengan melarang siaran langsung persidangan, ia berpendapat hal tersebut sama saja dengan membatasi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi atas sebuah kasus hukum secara utuh, lengkap, dan tidak setengah-setengah.

Selain itu, ujar dia, siaran langsung persidangan sebenarnya juga merupakan media yang efektif untuk memberikan edukasi dan pemahaman tentang jalannya persidangan kepada masyarakat luas.

Uli mengingatkan, dengan adanya siaran langsung persidangan terkait rekaman rekayasa di Mahkamah Konstitusi (MK) maka masyarakat bisa mengetahui mengenai kasus tersebut secara cepat dan meluas.

Sejumlah pihak bahkan menyatakan bahwa langkah MK dalam memutarkan rekaman tersebut secara terbuka merupakan langkah terobosan hukum yang efektif dan perlu untuk diapresiasi secara mendalam.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin yang ditemui wartawan saat digelarnya sidang pemutaran rekaman rekayasa di MK pada 3 November, mengatakan, pihaknya memberikan pujian kepada MK yang memutuskan untuk memperdengarkan secara terbuka rekaman dugaan rekayasa dalam kasus yang menjerat dua pimpinan KPK itu.

"Kita patut memberikan pujian. Semoga MK bisa bekerja sebaik-baiknya menangani masalah ini," kata Din.

Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan pihaknya memberikan pujian terhadap kinerja MK karena lembaga konstitusi tersebut menggelar sidang uji materi UU KPK secara terbuka pada agenda mendengarkan alat bukti transkrip dan rekaman percakapan yang diduga antara pengusaha Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat penegak hukum.

KPI bukan yudikatif
Uli menambahkan, KPI harus diingatkan sejumlah pihak terkait bahwa lembaga tersebut bukanlah perpanjangan lembaga yudikatif.

"KPI bukanlah bagian dari lembaga yudikatif," kata mantan Ketua LBH Jakarta itu.

Karena itu, ia menilai adalah rancu bila lembaga seperti KPI berkehendak mengeluarkan peraturan yang melarang siaran langsung persidangan dalam lembaga pengadilan yang sebenarnya merupakan domain dan tanggung jawab dari hakim sebagai pemimpin persidangan.

Menurut dia, bila terdapat pelarangan terhadap siaran langsung persidangan maka berpotensi mengacaukan kewenangan sistem hukum di Indonesia.

"Larangan itu dapat mengacaukan kewenangan sistem hukum," katanya.

Ia juga mengemukakan, larangan menggelar siaran langsung persidangan melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 153 Ayat (3) KUHAP menyatakan, untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Berarti, ujar dia, sudah jelas bahwa semua sidang terbuka untuk umum dan bisa mendapatkan liputan media secara langsung kecuali dalam beberapa kasus.

"Kasus yang tertutup adalah kasus terkait anak-anak dan tentang kesusilaan," katanya.

Berkaitan dengan wacana larangan siaran langsung persidangan, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara kepada sejumlah media mengibaratkan usulan tersebut seperti upaya memburu dan menangkap tikus yang mencuri padi dengan membakar lumbung atau tempat penyimpanan padinya.

Leo mengutarakan kekecewaannya karena sebenarnya telah terdapat ketentuan dan mekanisme untuk memberikan sanksi kepada media yang melanggar Kode Etik Jurnalistik sebagaimana tercakup dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Ia juga menyesalkan terdapat media yang tidak sensitif terhadap sejumlah materi pemberitaan yang dinilai vulgar sebagaimana yang disebutkan dalam pembacaan dakwaan Jaksa dalam kasus Antasari Azhar.

Sementara itu, siaran pers yang dikeluarkan Anggota DPR Komisi I Ramadhan Pohan menegaskan dukungan kepada kebebasan pers yang beretika serta memberikan perhatian yang serius terhadap nilai pendidikan dan kepantasan yang berlaku di tengah masyarakat di Tanah Air.

Namun, menurut politisi Partai Demokrat itu, insan pers juga harus mempertimbangkan secara mendalam tentang aspek lain dari pemberitaan yang mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang memenuhi asas kepatuhan, kesusilaan, dan pendidikan.

KPI sendiri telah mengagendakan untuk bertemu pihak Dewan Pers pada Senin (16/11) untuk membahas tentang wacana pembatasan siaran langsung tersebut.

Pertemuan itu diharapkan bisa berujung kepada terciptanya keputusan yang memuaskan semua pihak, atau malah semakin menambah panjang keruwetan kontroversi terkait wacana larangan liputan siaran langsung di sidang pengadilan.(*)

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009