Tulungagung, Jawa Timur (ANTARA News) - Gerakan Pemuda Ansor mengimbau masyarakat muslim Indonesia untuk bersikap hati-hati menyikapi krisis kemanusiaan yang dialami komunitas muslim Rohingya di Myanmar karena ada indikasi "pemelintiran" isu berlatar geoekonomi tersebut ke sentimen agama yang bisa memicu radikalisme.

"Dalam kaitan isu kemanusiaan tersebut, tentu GP Ansor sangat marah, bahwa ada manusia yang sangat kejam terhadap manusia yang lain. Namun yang perlu digarisbawahi, kita, muslim Indonesia tidak boleh salah dalam melihat atas apa yang sebenarnya terjadi di Rohingya," kata Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, dikonfirmasi usai menghadiri Konfercab GP Ansor Cabang Tulungagung, di Tulungagung, Minggu.

Yaqut yang juga anggota Komisi III DPR RI yang membidangi komisi pertahanan dan keamanan tersebut menyatakan saat ini ada beberapa pihak yang berusaha "menggoreng" dan "memelintir" seolah-olah isu Rohingya semata-mata isu agama.

Dimana kaum muslim diperlakukan semena-mena oleh umat nonmuslim, katakanlah dalam hal ini (umat) Budha Myanmar, kata Gus Yaqut, demikian pentolan GP Ansor tingkat pusat ini biasa disapa.

"Itu tidak seperti itu sebenarnya, menurut kajian kami. Jadi Gerakan Pemuda Ansor ini sudah melakukan kajian yang serius atas apa yang terjadi di Rohingya," katanya.

Menurut catatan GP Ansor yang sudah lakukan kajian atas krisis Rohingya selama bertahun-tahun, konflik di negara bagian Rakhine, Myanmar yang berbatasan langsung dengan Banglades di Asia selatan tersebut telah tiga kali meletus, yakni mulai 2013, 2016 dan terakhir pecah lagi pada akhir Agustus 2017.

Hasil dari kajian GP Ansor, papar Yaqut Cholil Qoumas, isu Rohingya bukanlah murni persoalan berlatar agama, tetapi berkelindan variabel pemicu dengan faktor dominan masalah ekonomi, terutama potensi tambang minyak dan gas yang sangat masif.

"Jadi bukan hanya persoalan yang terkait dengan keagamaan. Itu hanya cover (permukaan) saja menurut kajian kami," katanya.

Besarnya potensi tambang minyak dan gas bumi di negara bagian Rakhine yang didiami sebagian besar komunitas muslim Rohingya itulah yang kemudian menarik minat banyak perusahaan multinasional mulai dari Inggris, Perancis, Malaysia, Brunai, China, Rusia serta sejumlah negara minyak lain untuk saling berebut.

"Banyak sekali negara yang terlibat di sana. Jadi analisa kami, GP Ansor, konflik Rohingya ini lebih terkait perebutan resources ini, bukan melulu sentimen agama," katanya.

Selain faktor perebutan sumber daya alam oleh banyak perusahaan multinasional bidang tambang minyak bumi dan gas alam itu masih diperburuk oleh fakta politik dalam negeri Myanmar yang belum sempurna melakukan transisi demokrasi, yakni dari penguasaan junta militer ke pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi.

"Pemerintah Myanmar ini butuh modal besar untuk eksplorasi, setidaknya untuk menambah luasan lahan eksplorasi," katanya.

Padahal, lanjut Yaqut, selama ini Myanmar dikuasai oleh junta militer, pemerintahan sipil di bawah Aung San Suu Kyi ini kan belum lama.

"Sementara proses membuka diri Myanmar pasca junta militer ini belum sempurna. Negara-negara di luar Myanmar juga belum sepenuhnya percaya sehingga mereka kesulitan mencari talangan (pinjaman) dana untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam ini," ujarnya.

Keterbatasan modal untuk pengembangan potensi tambang minyak dan gas bumi inilah yang kemudian mendorong pemerintah Myanmar menggunakan opsi kekerasan terhadap warganya sendiri, baik itu komunitas muslim Rohingya maupun umat Budha Rohingya yang berada di negara bagian Rakhine.

"(Muslim) Rohingya ini menjadi mungkin untuk diusir (oleh pemerintah Myanmar) karena mereka punya sejarah panjang pemberontakan di Myanmar. Jadi ada kelompok-kelompok di Rohingya itu yang selama ini berusaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, ada faktor itu," papar Yaqut.

Ironisnya, tradisi keagamaan dalam ajaran Budha yang moderat dalam menyikapi krisis kemanusiaan di Rohingya menjadi penyebab mengapa selama ini kelompok mayoritas di Myanmar yang menganut agama Budha cenderung memilih diam.

"Ini memang problem kemanusiaan di Myanmar yang menyelimuti pemeluk agama Budha, yang mayoritas di sana dan kami yakini mereka di sana moderat. Mereka memilih diam ketika ada kekejaman dan kekejian di Rohingya. Empat problem inilah yang menurut kami tali-temali dan tidak bisa disederhanakan hanya menjadi problem agama, tidak," katanya.

Dia mengingatkan pemahaman terhadap krisis kemanusiaan agar dilihat secara utuh, tidak sepenggal-penggal apalagi digiring ke arah konflik antaragama di Myanmar, seperti opini yang tengah digoreng kelompok-kelompok tertentu (radikal/ekstremis) di Tanah Air.

"Kita semua harus mengerti anatomi konfliknya seperti apa sehingga nanti penanganan dan penyelesaiannya juga tepat," katanya.

Yaqut secara khusus mengimbau kepada masyarakat muslim Tanah Air yang berempati dan berniat menyalurkan bantuan, terutama dalam bentuk uang ataupun bantuan bahan kemanusiaan lain agar penyalurannya dilakukan secara tepat, melalui wadah yang bisa dipertanggungjawabkan.

"Karena kami melihat ada indikasi satu kelompok yang memanfaatkan isu ini untuk menggalang dana, lalu bantuan tersebut nantinya disalurkan untuk menyokong kelompok-kelompok separatis di Myanmar, kelompok-kelompok jihadis yang kalau di kita diistilahkan kelompok teroris itu, yang memang banyak ada di Rohingya itu," katanya.

Oleh karena itulah, dia mengimbau masyarakat Indonesia khususnya kalangan muslim Tanah Air agar teliti dalam memberikan bantuan agar tidak disalahgunakan yang justru akan menumbuhkembangkan terorisme di Myanmar," imbau dia.

(Baca: NU serukan hentikan tragedi kemanusian etnis Rohingya)

Pewarta: Destyan Sujarwoko
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017