Jakarta (ANTARA News) - Sikap Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak mengeluarkan klausul untuk mengikat semua negara anggota menjadi penghambat bagi Polri bagi perjanjian kerja sama bantuan hukum timbal balik (BHTB) atau mutual legal assistance (MLA) maupun ekstradisi dengan negara lain.

"Karena hukum internasional yang menaungi negara-negara, seperti PBB tidak mengeluarkan klausul atau legalitas untuk mengikat semua negara harus ikut membangun kerja sama dengan negara lain. Oleh karena itu, dalam upaya kerja sama MLA dan ekstradisi banyak yang mengambang. Itu persoalan prinsipnya," tutur Kepala Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri Irjen Pol. H.S. Maltha di Mabes Polri, Jakarta, Kamis.

Maltha mengungkapkan bahwa pihaknya sudah banyak melakukan pendekatan ke sejumlah negara untuk menawarkan konsep kerja sama. Kendati demikian, tidak sedikit negara yang menolak.

"Kami sudah proaktif melakukan hubungan kerja sama dengan negara lain. Kadang-kadang hasilnya nihil, tidak ditanggapi. Mungkin mereka tidak nyaman kalau ada hubungan ekstradisi yang dijalankan. Mereka tidak merasa diuntungkan, makanya mereka enggak mau," katanya.

Pihaknya pun menyiasatinya dengan melakukan pendekatan kepada para relasi yang telah dikenal oleh para personel Polri di negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dalam menangani kasus kejahatan antarnegara.

"Yang dibangun kepolisian bukan hanya produk MoU, melainkan hubungan person to person," katanya.

Ia menjelaskan dasar hukum permintaan bantuan hukum timbal balik tercantum pada Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang MLA.

Permintaan MLA dari negara lain dilayani sesuai dengan permohonan dari negara peminta bantuan hukum yang diajukan ke Kementerian Luar Negeri dan Kemenkumham. Setelah persyaratan yang diajukan lengkap, permohonan tersebut dibawa ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk dinilai.

Selanjutnya, hasil penilaian Kapolri dan Jaksa Agung akan diserahkan kepada Menkumham. Keputusan Menkumham akan disampaikan kepada Menlu untuk nantinya disampaikan ke negara peminta MLA.

Prosedur serupa juga dilakukan jika Indonesia memerlukan MLA ke negara lain. Bedanya pimpinan lembaga penegak hukum yang terlibat, yakni Kapolri, Jaksa Agung, atau Ketua KPK yang meminta permohonan MLA kepada Menkumham. Menkumham menyampaikan permohonan MLA ke negara lain melalui perantara Menlu.

Tidak adanya perjanjian ekstradisi maupun MLA antara Indonesia dan beberapa negara pun dimanfaatkan oleh sejumlah buronan Indonesia untuk kabur ke negara yang tidak punya perjanjian ekstradisi maupun MLA dengan Indonesia.

Singapura, ia mencontohkan menjadi negara favorit tujuan banyak buronan kasus korupsi untuk melarikan diri.

Meski red notice telah dikeluarkan oleh Interpol terhadap para buronan tersebut, Polri kesulitan menangkap karena terhambat oleh hukum yang berlaku di negara yang ditinggali buronan itu.

Saat ini baru tujuh negara yang terikat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan, dan Tiongkok (Cina).

Sementara sejumlah negara yang menjalin kerja sama bantuan hukum timbal balik (BHTB) atau mutual legal assistance (MLA) dengan Indonesia, di antaranya Australia, Cina, ASEAN, Hong Kong, dan USA.

Buronan yang melarikan diri keluar negeri adalah salah satu dari enam kejahatan internasional yang diprioritaskan penanganannya oleh Indonesia sebagai anggota Interpol.

Selain buronan yang kabur ke luar negeri, lima kejahatan lainnya adalah peredaran gelap narkoba, kejahatan keamanan publik, dan terorisme, kejahatan keuangan dan teknologi tinggi, perdagangan manusia dan korupsi lintas negara.

Pewarta: Anita P Dewi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017