Bangkok (ANTARA News) - Sejumlah tahanan disiksa pasukan keamanan Thailand dalam kemelut di bagian selatan negara itu, kata kelompok hak asasi, Selasa, dengan pemukulan, penghentian oksigen dan ancaman kematian di antara rentetan dugaan penyiksaan.

Undang-undang keamanan khusus diberlakukan di provinsi berpenduduk sebagian besar Muslim di ujung selatan Thailand, tempat lebih dari 6.500 orang, kebanyakan warga, tewas dalam pemberontakan 12 tahun terhadap pemerintah Thailand.

Di bawah darurat militer, terduga pemberontak dapat ditahan enam pekan tanpa jaminan, kata laporan kelompok hak asasi, yang merekam penyiksaan luas itu dan akan diumumkan pada Rabu.

Penelitian langka di wilayah berbahaya itu menemukan 54 penyiksaan mental dan fisik atau perlakukan kejam antara 2014-2015, sering terjadi di markas militer.

Terduga mengalami pemukulan, todongan senjata, penyiksaan terhadap panca indera dan pencekikan sering terjadi selama penahanan, kata peneliti.

"Yang kami catat adalah puncak gunung es," kata Pompen Khongkachonkiet dari Yayasan Cross Cultural, salah satu kelompok peneliti.

Keadaan telah memburuk sejak kudeta Thailand pada 2014 menyebabkan militer berkuasa, tambah perempuan itu.

"Dengan tidak ada pertanggungjawaban atau pengawasan mekanisme sejak kudeta, petugas hampir bertindak seenaknya terhadap tahanan," katanya menjelaskan.

Pemberontak mencari otonomi lebih besar dari Thailand, yang mencaplok wilayah lebih dari satu abad lalu, dan telah melakukan taktik kejam termasuk penembakan tanpa pandang bulu, pemenggalan dan pemboman.

Salah satu tersangka, Weasohok Doloh, kepada AFP mengatakan, dia ditahan pada Mei 2015 dalam dugaan keterlibatan pemboman; dia menyangkal dugaan itu.

Dia dibawa ke dalam kamp militer Inkayuth, suatu pusat penyelidikan di provinsi Pattani, tempat dia diduga disiksa selama beberapa hari.

"Awalnya mereka hanya menampar saya," kata pembangun bangunan

(32), menambahkan dia menolak mengaku punya hubungan dengan pemberontak.

Tapi penyiksaan memburuk dan setelah beberapa hari dia diduga ditelanjangi oleh tiga penyelidik yang juga mengikat tangannya.

"Tiba-tiba salah satu (penyelidik) mendorong saya ke kursi dan menutup kepala saya dengan kantong plastik secara paksa. Saya tidak bisa bernapas ... mereka melepaskan kantong itu ketika saya berkata akan mengaku. Tapi saya tidak punya apa-apa untuk diakui, sehingga mereka melakukannya lagi," katanya.

Dia menghabiskan 84 hari selama masa penahanan sebelum jaksa memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan.

"Kamp militer Inkayuth adalah tempat di mana hal-hal buruk tersapu di bawah karpet," kata Anchana Heemina dari Duay Jai, sebuah kelompok hak asasi yang turut menulis laporan.

"Kami telah mendengar cerita tentang penderitaan di sana selama 12 tahun," tambahnya, mendesak tentara untuk memungkinkan pengacara berhubungan dengan tersangka dari sejak penangkapan.

Seorang pria Muslim tewas dalam penahanan di Inkayuth pada Desember tahun lalu. Militer mengatakan itu disebabkan serangan jantung.

Laporan terpisah dikeluarkan pada minggu lalu oleh Pusat Jaksa Muslim (MAC), kelompok advokasi berbasis di wilayah selatan, mengumpulkan kesaksian 75 orang yang diduga disiksa selama penahanan pada 2015.

Juru bicara militer Kerajaan Thailand, Pramote Prom-In, menolak tuduhan penyiksaan yang dicantumkan dalam dua laporan dan menyebutnya sebagai "khayalan".

"Kehilangan kebebasan mungkin siksaan bagi mereka... tapi kita perlu menegakkan hukum," katanya, kepada AFP.

"Tahanan dibolehkan mendapat kunjungan keluarga dan penahanan dilakukan di depan saksi," tambahnya.

Militer telah memuji rekor penurunan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir sebagai hasil dari operasi dukungan intelijen yang lebih baik sejak mengambil alih kekuasaan dan buah pembicaraan damai tentatif dengan sejumlah perwakilan pemberontak.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016